Tak henti mata Latu menyapu seluruh ruangan, melihat satu per satu bingkai foto yang tergantung di dinding kayu kamar Jenar. Saat masuk tadi, ia sudah ingin melihat foto-foto itu, tetapi baru terlaksana setelah membersihkan diri beberapa menit lalu.
Di depan bingkai paling besar, Latu berhenti. Foto Jenar dengan baju toga dan riasan tipis, sepertinya itu foto kelulusan SMP. "Jenar Titah Hanga," gumamnya, membaca tulisan kecil di sudut foto.
"Aku di foto itu masih buluk banget, kan, Mbak?" Jenar masuk dengan selimut di tangan. Ia lantas meletakkannya di atas ranjang.
Latu berbalik ke arah Jenar yang kini memandangi fotonya sendiri. Seakan tak ingin menanggapi pertanyaan Jenar, perempuan itu justru bertanya, "Nama lengkap kamu?"
Jenar mengangguk. "Katanya, nama asli pemberian Bapak cuma Jenar Titah, tapi ditambahin kata Hanga sama Mbak tertua waktu ngurus akta sama perubahan KK." Jenar terkekeh. "Mentang-mentang Bapak sama Ibuk buta huruf. Biar ndak Jawa-Jawa banget katanya."
Latu ikut terkekeh. "Pantas aja namanya Ulung juga khas Jawa banget."
Jenar melotot excited. "Bener."
"Omong-omong, nama tengah sama belakang aku juga diambil dari bahasa Jawa. Ja Wretika, kata mama aku, artinya anak semesta. Yita lebih Jawa lagi."
"Apa memangnya, Mbak?"
"Dayita Tuwuh Utungga," jawab Latu singkat.
"Artinya?"
"Kekasih yang hidup dan tumbuh dengan mulia, agung. Kata Google, sih, aku penasaran soalnya, nggak tahu kalau kata mamanya."
Jenar tak bisa menahan tawa mendengar jawaban jujur Latu. "Mbak blak-blakan banget ya, ternyata."
"Jujur lebih baik." Ingat sesuatu, Latu menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Jenar. "Oh iya, aku boleh ikut ritual nanti, nggak?"
Jenar tak langsung menjawab, melainkan menggigit bibir bawah gelisah. Ia lantas berujar dengan ragu, "Aku sih ndak apa-apa Mbak ikut, tapi beneran ndak apa-apa buat Mbak? Kayak kata Mbak Latu tadi, barangkali masih ada pikiran menjurus ke unsur kemusyrikan, takutnya nanti malah ... maaf sebelumnya, ternodai keyakinan yang Mbak anut. Aku juga jujur aja ndak rela kalau sampai nilai tradisi geblagan itu sendiri bercampur sama keraguan yang mungkin masih bersarang dalam hati Mbak Latu."
Perempuan dengan rambut two-tone terurai itu meringis, menggaruk tengkuk. Ia merasa bersalah seketika. Kekhawatiran Jenar tentu sangat beralasan.
"Sorry," lirih Latu, "selanjutnya, ada yang perlu aku lurusin di sini. Aku sama sekali nggak bermaksud meragukan atau menghukumi bahwa tradisi geblagan merupakan praktik kemusyrikan, nggak sama sekali! Aku murni bertanya karena aku nggak tahu, lagipula sedikit banyak aku belajar Kejawen, Jenar. Juga, kamu nggak perlu khawatir masalah keyakinan aku yang bakal ternodai atau nggak, karena aku pribadi, seenggaknya beberapa tahun terakhir, nggak melabeli diri menganut agama mana pun."
Jenar terbelalak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Namun, gadis dengan rok sebetis juga kaos lengan panjang itu langsung berusaha mengontrol keterkejutan.
Latu kembali meringis. "Seaneh itu, ya?"
Segera Jenar menggeleng kuat. "Ndak, Mbak. Cuma kaget aja, karena ini pertama kalinya aku denger hal ini."
"Jadi, boleh ikut?" ulang Latu.
Ekspresi Jenar langsung semringah. "Boleh, dong. Duduk-duduk aja dulu sambil nunggu jam lima."
Tak menjawab, Latu hanya mengangkat ibu jari dan menarik satu ujung bibirnya ke atas.
-o0o-
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Fiksi UmumApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...