Malam semakin larut, tak jua mata Latu ingin terpejam, padahal tubuhnya masih cukup lelah. Sedang, Gea belum pulang sejak habis Isya tadi, terlanjur ada janji dengan teman kampusnya untuk membahas suatu hal. Katanya, ia setidaknya baru akan pulang pukul sebelas malam, masih setengah jam lagi.
Sambil merebahkan diri pada kasur Gea, Latu menggulir layar ponsel yang menampilkan laman aplikasi Instagram. Tak terlalu beragam unggahan yang dapat Latu lihat, karena daftar akun yang diikutinya pun monoton pada bidang yang sama. Kebanyakan akun-akun quotes, filsafat, yang terbaru diikuti akun-akun berbau Jawa.
Jarinya berhenti menggulir saat mendapati unggahan seseorang yang baru-baru ini menjadi akun favorit yang diikutinya. Sebuah desain gambar seorang perempuan tengah menjilat tengkorak yang tergenggam di tangan. Membersamai gambar itu, terdapat tulisan dengan warna hijau neon, “The art of conscious breathing”. (Seni bernapas yang sadar).
Latu mendekatkan layar ponsel ke depan wajah, membaca cermat caption yang tertera.
Betapa teduh hidup, menyerahkan diri pada irama gaib penuh rahasia sunyi.
“Kesenyapan ini akan selesai bertapa.
Lalu apa?
Dibariskan
Dan disembunyikan di balik warna?”
: perca-perca pola refleksi, mimpi-mimpi yang membangun kognisi; (sekali berarti sesudah itu mati)…
Ribuan orang mungkin telah berhasil menyangkal moralitas-moralitas dan segala idealisme tentang “yang ideal”, ribuan orang lainnya mungkin telah menyangkal “Tuhan-tuhan beserta persepsi theomorfik-nya”
: Tetapi bagaimana bisa seseorang menyangkal kehidupan?…
(Vanitas! Vanitatum Vanitas!)
Latu ingat betul mengenai frasa terakhir yang berasal dari bahasa Latin itu. Vanitas vanitatum, omnia vanitas, begitu lengkapnya. Kesia-siaan dari kesia-siaan, (semua) adalah kesia-siaan. Mengarah pada penjelasan bahwa kehidupan duniawi pada akhirnya adalah kosong.
“Menyangkal moralitas dan segala idealisme tentang yang ideal, menyangkal Tuhan,” gumam Latu, mengulangi sepenggal caption yang ada. Keningnya berkerut dalam. Bukan, bukan kekosongan yang sama seperti yang pernah dijelaskan Yita, ia mengambil kesimpulan lain. Sebuah pesimisme. Tidak seperti para fatalis, pesimis yang diinterpretasikan Latu di sini lebih mengarah pada kesadaran bahwa dunia sama sekali tak memiliki urgensi. Mengimani dan mengusahakannya berlebihan agaknya adalah suatu kesia-siaan nyata.
Kembali Latu menekuri baris-baris awal, betapa teduh hidup, menyerahkan diri pada irama gaib penuh rahasia sunyi. Di sana, ia mendapati dirinya dalam kekosongan yang sama dengan rumusan Yita. Kosong yang penuh dengan napas Tuhan.
Darah Latu rasanya berdesir, telinganya mulai berdenging. Suara detik jarum jam yang sedari tadi menyapa seolah meniada untuk beberapa masa. Latu memejamkan mata, sedang tangannya menggenggam erat gawai ber-case hijau tosca miliknya.
“Aduh,” desisnya. Sebelah tangan Latu sudah beralih ke telinga kanan, berusaha menghalau denging itu. “Kenapa kayak gini terus, sih?”
Dirasa membaik, Latu kembali menjauhkan tangan dari indera pendengar, mengingat-ingat sudah berapa kali kiranya ia mengalami hal serupa. Latu bahkan lupa sudah berapa kali mengalami saking sering denging yang sama menghampiri.Tak mau ambil pusing, ia kembali menggulir layar ponsel, masih pada akun yang sama: hisamalgibran. Selisih satu postingan di bawah unggahan sebelumnya, Latu membaca.
The Javanese culture is rich of philosophical concepts that become practical references in daily life of its people. One of them is ‘Sura Dira Jayadiningrat Lebur Dening Pangastuti’. These Javanese idiom literally means wild anger can be exterminated by gentleness or kindheartedness. A peaceful righteousness is able to defeat a violent evil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Ficción GeneralApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...