"Kenapa kamu ngomong kayak gitu ke dia, em ... mereka?"
"Mematahkan harapan seseorang sebelum berkembang lebih jauh," jawab Yita santai. Dimasukkannya tangan ke dalam saku celana pendek yang dikenakan.
Keduanya berjalan bersisian di taman kota setelah Yita mengajak Latu pergi tadi, meninggalkan Ratri yang diam seribu bahasa. Lagipula, cuaca indah malam ini terlalu sayang dilewatkan hanya dengan berdiam di rumah.
"Ratri?"
Yita menoleh ke arah Latu, lantas mengangguk dengan senyum tersungging.
"I've kept it for a long time, I know what she feels, but now, ada kamu, kan?" Senyum lebar Yita sukses membuat semburat merah menjalari pipi Latu. "Aku tidak ingin menyakitinya lebih jauh, Latu."
"Emang kamu nggak suka sama dia? Dia cantik, loh." Latu mengambil satu langkah lebih cepat, sengaja berjalan mundur dengan tubuh menghadap lelaki itu. Sesekali angin menerbangkan rambut berwarnanya, menutupi wajah.
Pemuda tersebut menggeleng pelan. "Hanya sebuah empati, aku tidak pernah mau terlibat perasaan terlalu jauh dengan perempuan-perempuan itu. Lagipula Latu, memang kenapa jika dia cantik? Kamu pikir aku memandang seseorang hanya dari fisiknya?"
Latu mengangkat alis tinggi, menghentikan langkah yang sontak membuat Yita ikut melakukan hal yang sama. Sorot mata perempuan itu pun ikut berubah, ada sedikit tatapan curiga. "Jangan-jangan karena mereka mantan PSK dan penyintas setelah mengalami pelecehan. Kamu menganggap mereka nggak pantas buat kamu? Kalau begitu, bukankah pikiran kamu terlalu picik, Yita?"
Bukannya tersinggung, Yita justru terkekeh. Ia melanjutkan langkah dengan melewati sisi kiri Latu. Perempuan itu langsung menyejajarkan langkah.
"Kamu sungguh berpikir aku sepicik itu?" balas Yita santai. Ia lantas berhenti tepat di tepi lintasan skateboard yang ada. Ramai anak-anak komunitas tengah menunjukkan free style.
Ikut berhenti, Latu mengedikkan bahu. Untung saja mereka berhenti di sisi tak banyak orang berkerumun.
"I don't care about one's background, Latu. Sama halnya Om Laith yang tidak peduli bahwa Tante Nuha juga seorang penyintas."
Di titik itu, Lalu masih membulatkan mata meski sudah tahu bahwa Nuha seorang penyintas dari mama lelaki itu.
"Terlibat perasaan dengan orang yang aku tahu tidak akan menetap lama, aku tidak tertarik."
"Tapi aku juga belum tentu menetap lama, lebih nggak jelas lagi, malah sesumbar bilang aku calon istri kamu. You know what I mean, right?" Seraya mengucapkannya, Latu tiba-tiba duduk di atas rerumputan tepi lintasan, banyak pula orang melakukan itu. Ia sudah sibuk memperhatikan para pemuda dengan skateboard di depannya.
Mengeluarkan tangan dari saku celana, Yita ikut duduk di samping Latu, menekuk lutut di depan dengan lengan seolah memeluk lutut. "I think so, aku juga berpikir bahwa kamu lebih tidak jelas." Yita terkekeh. "Tapi, entahlah, Latu. Kamu ingat kutipan yang kamu tulis? Sumusuping rasa jati, semacam itu, meskipun aku tidak terlalu yakin sejujurnya. Masalah calon istri, aku minta maaf, hanya itu yang terpikir tadi."
Mendengar itu, Latu mendesis. Secara tak langsung Yita membenarkan bahwa dirinya tak jelas. Desisan Latu mengundang tawa Yita, lelaki itu bahkan sampai menoleh ke arah Latu dengan kepala dimiringkan, menatap geli. Tak lupa, satu tangannya yang refleks mengacak pelan rambut Latu.
"Lagipula, sabbe sankhara dukkha," celetuk Yita lagi.
"Hah?" Kedua alis Latu menyatu.
"Segala sesuatu adalah penderitaan." Yita melebarkan senyum hingga matanya sisa segaris. "Setiap orang pasti mengalaminya ... memang harus. Penderitaan. Terdengar kejam, bukan, Latu? Ratri sudah menerima banyak luka dalam hidupnya, but having pain untuk yang kesekian kalinya--maksudku, menerima penolakan atas ketertarikannya padaku ... itu bukan sesuatu yang bisa dia kendalikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Fiksi UmumApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...