Sesuai katanya, Latu bukannya beristirahat malah langsung menyusul orang tuanya ke Gantari. Ia hanya mampir ke rumah untuk menaruh tas dan mengambil kunci mobil.
Sampai sana, ada masalah apanya, rupanya orang tuanya tengah berkumpul nyaman di lantai dua dengan keluarga kecil Edsel.
"Hoi, Kak Latu," sapa Debora serampangan. Gadis itu tengah duduk nyaman di atas bean bag dekat kaca besar. Tak sendiri, Latu baru sadar bahwa ada Loka juga di sana. Wah, benar-benar reuni antarsahabat. Sadar ada yang berbeda dari Latu, Bora terlonjak. "Omo! Ini beneran lo kan, Kak? Apa mata gue yang salah? Pake jilbab?"
"Terakhir kali aku lihat, Kak Latu makin badass karena warnain rambut. Sekarang udah tobat?" timpal Loka.
Latu mengibaskan tangan di depan wajah, memberi kode bahwa ucapan mereka tak penting. Sejujurnya, bukan hanya Bora dan Loka yang kaget, Maruta, Aeera, dan Edsel beserta Kenny juga sukses membulatkan mata.
"Jadi baik salah, pecicilan tambah salah," cibirnya, lalu menyusul orang tuanya, mencium punggung tangan orang yang ada di sana satu per satu. Sampai pada istri Edsel, Latu mengerling. "Mami Kenny tambah cantik, deh. Nggak kayak Bora, tambah jamet."
"Heh, ini tuh bukan jamet ya, Kak Latu. Dasar nggak tahu trend." Bora mengomel, "kayak cewek Korea gini dibilang jamet."
Latu menjulurkan lidah, mengejek. Bora langsung mendesis.
"Baru sampai banget, Tu?" tanya Kenny.
Gadis itu mengangguk. "Iya, Mi. Langsung ke sini, deh."
Latu memilih tempat duduk kosong di samping Aeera, menyandarkan kepala dengan manja di pundak sang mama. "Om Harsa ke mana? Kok cuma si traveLoka di sini?"
"Seenaknya banget ganti nama orang," protes Loka.
"Nah Ka, Kak Latu emang rese, kan?" imbuh Bora dengan tatapan sengit.
"Kamu, tuh!" tegur Aeera sembari memukul pelan lengan atas sang putri.
"Maaf."
"Om Harsa lagi cari makan buat kita, Tu." Edsel yang akhirnya membalas.
Latu mengangguk sebagai balasan.
"Karena apa kamu pakai jilbab?" tanya Maruta tiba-tiba, "Yita?"
Latu melotot, "Nggak, dong. Ini karena kesadaran, Ayah."
"Kak Yita tetangga aku itu, Kak? Ponakannya Om Laith." Loka bangkit, ikut duduk di sofa yang masih kosong.
Si target pertanyaan mengangguk, kemudian menegakkan posisi duduk.
"Ka, temenin gue ke minimarket, yuk!" Bora sudah berdiri di samping sofa yang diduduki pemuda itu. "Tiba-tiba pengen mie ramen."
Loka mendesah. "Ogah, males. Aku teleponin Mama aja deh, biar sekalian dibawain."
"Ih nggak, Tante Runi nggak tahu ramen favorit aku." Rambut one bun berantakan Bora ikut bergoyang pelan saat si empu menggeleng kuat. "Ayo, lah. Kapan lagi nganterin cewek spek Han So Hee gini?"
Edsel selaku papa Bora hanya menepuk jidat pelan, terlampau hafal dengan tingkah sang putri. Sementara Kenny meringis. Entah menurun dari siapa.
Di sisi lain, Latu mencibir terang-terangan, memasang tampang ingin muntah.
"Udah sana antar Bora, Ka," ucap Aeera, "kalau ngambek bahaya."
"Tante Aeera emang paham banget, deh. Jadi tambah sayang."
"Kamu bisa pakai motornya Om Yasfi, ditinggal di parkiran tadi pagi. Kuncinya minta saja pada orang di front desk," imbuh Maruta.
Keduanya lantas pergi, Bora dengan langkah ringan sedang Loka sambil bersungut-sungut. Bora memang menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...