6. Ika(?)

218 39 15
                                    

"Jadi, kamu tinggal di sebelah? Dan kita beneran pernah ketemu sekali di rumah Om Harsa?" Latu masih tak mempercayai pendengarannya. Pantas saja lelaki yang kini duduk di sampingnya terasa familiar, meskipun ia pribadi terlambat menyadarinya.

Sekali lagi lelaki itu mengangguk. "Waktu Anggra lahir. My uncle's family and I came here. You were busy playing an online game with Loka at that time."

"Pantesan. Eh, tapi omong-omong, aku jadi inget kalau paman kamu waktu itu sempet bilang gini ke mama aku, 'Jadi, ini Latu yang waktu itu? Yang namanya dikasih sama Mas Edsel. Udah besar, ya, dulu waktu ketemu masih balita.'. Maksud aku, jadi mereka udah saling kenal waktu aku kecil?"

Pemuda itu mengedikkan bahu. "Uncle said, he met your mother and father karena perantara Om Harsa yang at that time was in Switzerland. So, mungkin saat itu juga bertemu kamu."

Latu sedikit membuka mulut, mengangguk paham.

"Know the funniest thing?" Lekat lelaki itu melihat Latu dari arah samping, membuat perempuan itu menoleh. Keduanya saling mengunci tatap untuk beberapa saat. "Uncle ever asked Mama's permission."

"What for?"

"Mempertemukan aku dan kamu. He told me that, but Mama refused it."

"Hah?" Sungguh, Latu tak sepenuhnya paham.

Lelaki tersebut kembali menatap depan, memandang taman kecil di pekarangan rumah Harsa. Disugarnya rambut yang gondrong itu ke belakang, bersamaan dengan senyumnya yang terbit. Latu bahkan sangsi, apa lelaki itu memang selalu tersenyum?

"I didn't really get it why he did that, but after Mas Kinn told me about you, I think I know why it was. Kamu ... sebelumnya aku ingin tanya sesuatu."

Latu mengepalkan tangan di pangkuan dengan kuat, lelaki ini menunda mengatakan alasannya. "Tanya apa?"

"Apa kamu berjalan di jalan yang semestinya?"

Pertanyaan penuh arti lelaki itu sukses membungkam Latu, mengubah ekspresi perempuan itu ke titik paling datar yang ia miliki. Kepalan tangannya pun semakin menguat, membuat kuku-kuku panjang itu melukai telapak tangannya sendiri.

Menyadari itu, si penanya terkekeh pelan. "I've guessed it. You ain't. Unfortunately, kita sama, Latu. Dan itu alasan utamanya."

Seketika Latu berdiri, menghadap dan menatap lelaki itu penuh arti. Napasnya sudah memburu, antara waspada juga ... takut? Lelaki itu menakutkan. "Apa maksud kamu, Dayita?"

Mata lelaki di depannya semakin tak tampak sebab tersenyum lebar. Satu alisnya sudah diangkat tinggi bersamaan dengan ia yang memiringkan sedikit kepala. "Sudah sejak kapan kamu menipu orang tua kamu—bukan! Menipu diri sendiri?"

"Apa maksud kamu, Dayita?" tekan Latu, mengulangi pertanyaan yang sama. Kali ini, ia sungguh tak bisa tenang, meski memaksakan senyum. Sebulir keringat sebesar biji jagung sukses jatuh dari keningnya.

"Your faith."

Gotcha! Lelaki itu menyadarinya.

"Islam KTP, huh? Who knows this besides me, Latu?"

Latu memejamkan mata erat-erat. Bertemu lelaki ini rupanya bencana tak kasat mata, ia salah mengagumi Dayita.

"No one, ah ... terhitung sejak beberapa saat lalu, berarti cuma kamu." Latu membuka mata, mengembuskan napas panjang dan kembali duduk di tempat semula. "Bagaimana kamu tahu? Lagipula, banyak orang Islam KTP sekarang. They say that they are moeslim but disobeying God's rule. Mereka bilang mereka beragama ini-itu tapi mereka ingkar, mereka menyekutukan tanpa sadar. Penyembahan-penyembahan mereka bercampur, nggak murni. Mereka nyembah Tuhan, tapi juga nyembah uang, kekuasaan, lawan jenis, nyembah standar. Jadi, Islam KTP-ku bukan sesuatu yang patut di-judge kayaknya."

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang