Langit terbangun ketika dirasakan percikan air dingin membasahi wajahnya. Dipicingkannya kedua mata. Dilihatnya wajah Mentari, dengan seringainya yang menyebalkan. Dia sudah rapi dengan pakaian putih abu dan tas ransel di punggungnya. Di tangannya ada segelas air yang siap dipercikannya kembali. "Cepetan, Mas! Tukang ojeknya udah nungguin!" Teriaknya.
Dengan malas Langit mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celananya dan diberikannya kepada adik perempuannya itu.
"Loh, kok?" Protes Mentari.
"Sehari dulu. Nanti ditransfer lagi!" Sahut Langit seraya menutup wajahnya dengan bantal.
"Ok. Mi nya udah aku buatin tuh, di meja. Buruan bangun. Nanti keburu mekar!" Sahut Mentari, lalu berlari keluar dari dalam kamar.
"Mi instan lagi?!" Teriak Langit. Dibenamkannya kembali wajahnya ke dalam bantal. Namun, tiba-tiba sebuah suara kembali memaksanya untuk bangun. Terdengar sebuah ketukan di pintu rumah.
"Assalamu alaikum..! Mas Langiiiit!"
Akhirnya Langit memaksa tubuhnya bergerak. Dipakainya kaus untuk menutupi badannya. "Sebentar!" sahutnya seraya bergegas keluar dari dalam kamar.
Di depan pintu sudah berdiri Devina, tetangganya yang manis. Kedua tangannya memegang sebuah mangkuk makanan.
"Ini Mas, buat sarapan." Devina mengulurkan mangkuk yang dipegangnya itu pada Langit.
"Oh! Ini kamu bikin sendiri?" Tanya Langit seraya mencium aroma manis yang keluar dari dalam mangkuk yang terasa hangat itu.
Devina mengangguk malu.
"Makasih, ya? Kamu baik banget. Mau sarapan bareng?" Goda Langit sambil melemparkan senyum termanisnya.
Gadis itu pun menggeleng sambil kembali tersipu malu. "Saya permisi dulu ya, Mas!" Pamitnya, lalu buru-buru berjalan pulang ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter saja jauhnya.
Sambil tersenyum bahagia Langit menyuapkan bubur Sum-Sum itu ke dalam mulutnya. Akhirnya pagi ini Devina kembali menyelamatkan lambungnya dari mie instan buatan Mentari yang membosankan.
Setelah menghabiskan sarapan, Langit bergegas untuk bersiap ke tempat kerja. Ia menyalakan Vesva tuanya dan memacunya menembus kemacetan jalan Ibu Kota hingga tiba di halaman parkir gedung perkantoran Bagja Tower. tepat pukul tujuh lebih lima belas menit.
"Selamat Pagi, Mas Langit?" Seorang pria berseragam keamanan menyapa Langit sesaat ia masuk ke dalam gedung.
"Pagi, Pak!" Sahut Langit. Ah! Bantuan datang tepat waktu, senyumnya dalam hati. "Tugas malam nih, Pak Riswan?" Tanyanya.
"Iya, Mas, baru selesai. Nunggu pergantian jaga, sekalian mau minta kopi," sahut Pak Riswan setengah berbisik.
Langit tersenyum. "Siap, Pak!" Sahutnya seraya masuk ke dalam elevator yang membawa keduanya sampai ke lantai 20, tepat di depan sebuah pintu kaca bertuliskan Cafe Dewa.
Dan Langit pun mulai melakukan rutinitas paginya untuk membuka cafe. Memastikan kelengkapan meja konter, menyalakan mesin penggiling biji kopi dan pembuat kopi. Serta menurunkan kursi-kursi dari atas meja dan menyusunnya. Dan karena Pak Riswan ikut membantu, pekerjaannya pun selesai hanya dalam waktu tiga puluh menit saja. Di pagi hari pekerjaan Langit memang lebih ringan karena tidak perlu lagi membersihkan ruangan. Ia sudah melakukan itu di sore hari saat cafe sudah tutup.
"Ngopi dulu, Pak!" Langit mengulurkan gelas karton berisi kopi hitam yang dibuatnya kepada Pak Riswan.
"Terima kasih, Mas Langit!" Ucap Pak Riswan seraya duduk di depan meja konter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...