BAB 59

761 11 4
                                    

Jangan putus asa. Allah akan bantu prosesmu, Allah akan memudahkan jalanmu. Cape si boleh saja tapi tidak untuk menyerah.


1 minggu sudah kepergian Barra, orang-orang yang menyayangi Barra terus mengingat kebaikan-kebaikan yang Barra beri.

Kedua orang tua Barra terutama Pamungkas sangat menyesal telah se egois itu sampai mengecap Barra sebagai 'Pembunuh', ia sangat menyesal atas apa yang sudah ia lakukan ke Barra.

Bryan, Abang Barra yang memilih untuk pergi ke Ponorogo setelah 2 hari Barra meninggal. Ia memilih tidak terlalu mengenang masa hidup Barra saat bersamanya, terlalu sakit jika ia terus mengingat-ingat kejadian demi kejadian yang mereka berdua telah lewati.

Vira tak kalah terpukul nya dengan kepergian Barra, bahkan setelah Barra tiada Vira kini lebih banyak merenung di pojok kamarnya bahkan perusahaan nya yang berada di Semarang kini dikelola oleh salah satu saudaranya. Vira masih tak menyangka apa yang terjadi pada hidupnya, ia kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi saat menjelang hari bahagia mereka.

Atha, ia juga sangat terpukul saat mendengar Barra sudah meninggal dunia. Ia masih sangat ingat saat Barra menolongnya saat ia sedang dikeroyok oleh beberapa preman waktu itu. Atha masih sangat shock, bahkan ia tak menyangka akan terjadi begitu cepatnya.

Kini keadaan rumah Barra masih sepi, bahkan Queen ikut merasakan kesedihan saat Abangnya itu telah meninggalkannya untuk selamanya. Ia terus merenung tak seperti biasanya, wajah cerianya sekarang hilang. Bahkan ia terus memilih untuk berdiam diri di kamar Barra.

°°°

Seorang pemuda tengah duduk di balkon kamarnya seraya menatap lampu-lampu jalanan yang menyala, malam ini pemuda itu merasa manusia paling gagal untuk menjaga orang yang ia cintai. Dia, Adit yang masih merenungi perginya Barra dengan begitu cepat. Mimpinya menjadi kenyataan dan ia belum menyangka akan begitu cepatnya Barra meninggalkannya.

"Gw gak nyangka Bar" gumam Adit sembari memandang layar ponselnya yang menampilkan foto dirinya bersama Barra.

Di gambar itu terlihat jelas senyum Barra yang sangat bahagia siapapun juga yang melihatnya, kematian Barra membuat perubahan besar dalam hidupnya.

Kedua tujuan hidupnya sudah meninggalkannya, lantas apa yang masih dirinya pertahankan? Vira. Barra yang sudah menitipkan Vira ke dirinya dan dirinya lah yang akan berusaha menjaga kekasih dari sahabatnya itu.

Hening.

Ia terus memikirkan apa yang terjadi di masa yang akan datang, tanpa kehadiran orang-orang yang selama ini menjadi tujuan hidupnya.

Vira
Online

Dit, apa yang Barra kasih tau ke lu sedangkan gw gak tau

G ada
Tidur, udah malem Barra udah nyuruh gw buat ngejagain lu
Dia gak mau lu sakit

Gw mutusin buat berangkat lagi ke Semarang besok

Kalo mau ke Semarang lagi, pamit ke Barra
Besok pagi gw jemput, kita ke makam dia

Hmm, iya.

Setelah itu pun Adit memutuskan untuk beranjak dari duduknya lalu masuk kembali ke kamarnya, karena memang malam sudah semakin larut.

Ia merebahkan badannya di atas tempat tidurnya dengan pandangan tertuju ke bingkai foto yang terdapat di atas meja kerjanya. Foto itu ia dapat setelah menemui Arka.

(Lupa siapa Arka? Baca lagi bab 36)

Ia sangat merindukan tawa Barra pada saat itu, bahkan ia juga merindukan sosok Arka. Dibalik sikap cuek Adit, namun masih menyimpan banyak rasa kepeduliannya, rasa kekhawatiran sampai rasa takut akan kehilangan orang yang ia jaga untuk kesekian kalinya.

Ia perlahan mulai tertidur dengan posisi yang masih sana, bahkan lampu kamar yang biasanya dimatikan jika ia tidur pun sekarang masih menyala lantaran rasa lelah pada dirinya.

Tak terasa sinar matahari mulai memasuki lewat celah-celah gorden yang sedikit terbuka, membuat wajah Adit yang terkena sinar matahari pun merasakan silau akhirnya dia bangun dengan mata yang masih sipit.

"Abang, udah ditungguin buat salapan" celetuk Gibran sembari membuka pintu kamar Adit yang tak terkunci.

"Ya nanti Abang turun, Abang mau mandi dulu bentar" balas Adit.

Gibran pun kembali ke ruang makan, sedangkan saat Adit akan beranjak tiba-tiba ponselnya berdering.

"Vira" gumam Adit seraya memandang layar ponsel itu, ia pun lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa Ra? " tanya Adit setelah mengangkat panggilannya.

"Jadi kan pagi ini buat ngunjungin Barra? "

"Jadi kok, sehabis sarapan gw jemput lu" balas Adit.

Dan benar, setelah sarapan Adit mulai melajukan motornya menuju ke rumah Vira. Ia akan menepati janjinya tadi malam sebelum ia berangkat kerja.

"Udah yuk" ajak Vira saat Adit sudah sampai di halaman rumahnya.

Adit pun mengangguk seraya memberikan helm yang ia bawa dari rumah, namun Vira menolaknya lantaran ia sendiri memakai helm yang dulu Barra kasih untuknya.

Di perjalanan Vira termenung memikirkan Barra, hari-harinya sangat berbeda dari hari sebelum-sebelumnya. Kini hidupnya hampa tanda kehadiran Barra, impian mereka untuk menikah bersama telah sirna, satu persatu harapan yang ia inginkan bersama Barra mulai pupus sejak Barra tiada.

Sesampainya di area makam, kedua pemuda itu pun berjalan menyusuri satu persatu makam sampai pada akhirnya mereka tiba di makam Barra, sebelumnya mereka juga membeli bunga yang akan ditaburkan di makam Barra dan juga buket yang Vira beli. Terlihat masih banyak buket-buket bunga dari teman-teman yang lain bahkan anggota geng lain yang berteman dengan Barra. Sepertinya sering dikunjungi, batin Adit.

Setelah mereka berdoa, perlahan tangan Vira mengelus batu nisan yang bertuliskan nama kekasihnya.

"Makasih Mas, makasih udah mau mencintai aku sampai ajal menjemput kamu" lirih Vira dengan mata yang mulai meneteskan air matanya.

Hati Adit ikut tersentuh mendengar suara Vira yang membuatnya merasakan sakit dan juga kehilangan terhadap sosok Barra.

Sesekali isakan yang ia tahan terdengar juga dari mulutnya dengan badan yang bergetar menahan rasa sesak di dadanya.

"Mas aku pamit ya" lirih Vira membuat siapa saja yang mendengarnya ikut merasakan betapa sesaknya oleh rasa kehilangan yang sangat mendalam.

Semuanya terasa begitu cepat, dari ia mulai kenal dengan Barra sampai harus merelakan Barra yang pergi untuk selama-lamanya, Vira menatap gelang yang dipasangkan oleh Barra saat di Bali.

"Bar gw pamit dulu ya, gw janji bakal jagain Vira buat lu" batin Adit seraya menatap makam yang berada di depannya.

Sinar matahari yang mulai terik membuat kedua pemuda itu memutuskan untuk beranjak dari area makam tersebut. Sebelum ke tempat kerja, Adit mengantar Vira sampai ke rumahnya.

"Dit makasih buat semuanya, gw pamit dulu" ucap Vira saat dirinya akan pergi meninggalkan kota yang tersimpan banyak kenangan bagi dirinya.

"Ati-ati dan jaga diri baik-baik, gw pantau dari sini" balas Adit.

Vira menganggukkan kepalanya.

Perlahan mobil yang ditumpangi oleh Vira pun melesat membelah ramainya jalan Ibukota. Selepas kepergian Vira, Adit memutuskan untuk memulai aktivitas nya seperti biasa walau berat tetapi mau tak mau membuat Adit terus berusaha untuk menjaga Vira dari kejauhan.

Akhirnya cerita sampah ini END juga 🙃
Bantu ramaikan ya dan jangan lupa, tinggalkan jejak!

Di Balik Senyum Barra [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang