12. Berita Buruk

800 96 4
                                    

"Gue pikir dengan cara kita ngelakuin hal kayak gitu, dia bakalan bisa bikin jadi dia yang kita kenal dulu,"

"Namun, hasilnya diluar ekspektasi gue," Blizzard meraup wajah nya frustasi.

"Gue minta maaf, kaloh yang buat Kevlon kambuh itu karna gue, sorry gue gak se–"

"Bukan salah lo," Potong Petir menoleh kearah Blizzard yang tengah menatap dirinya. "Tapi emang mungkin bukan waktu yang baik buat ngasih itu ke dia sekarang. Bisa jadi kan, kenangan yang paling indah dulu bisa saja menjadi penghancur mental seseorang, dimasa depan orang itu." Lanjut cowok itu.

"Eum,"

"Terus sekarang kita harus ngelakuin apa lagi? Gak mungkin kan kaloh kita cuman diem aja?" Sahut Gamma.

"Iya, gue tau apa yang lo bilang itu bener Gam, tapi coba deh lo pikir, semakin kita bergerak, anehnya depresi Halilintar semakin kambuh. Sedangkan kaloh pun kita cuman diam aja, dia seolah–olah jadi autis tingkat atas,"

"Singkat nya gini. Kita berjalan dia seperti orang gila, lalu ketika kita diam, dia seperti seorang pengidap autis."

.
.
.

"Melamun mulu dari tadi. Katanya kaloh kebanyakan ngelamun, entar gak dapet jodoh lohh," Celetuk Taufan seraya menggoda Kakak nya itu, yang hanya diam saja.

Halilintar hanya melirik sebentar Taufan yang malah tersenyum kearahnya. Gak bakalan ada yang namanya keturunan dari seorang Halilintar Kevlon Rayendra. Hidup gue itu singkat, gak bakalan lama.

"Jodoh?" Halilintar terkekeh mendengarnya. Membuat yang lain malah bergidik ngeri melihat nya, beda lagi dengan Taufan yang malah menyunggingkan senyum miringnya. "Iya. Jodoh. Jodoh seorang Halilintar Kevlon Rayendra,"

"Mending die dari pada nikah." Jawab Halilintar enteng. Yang mana membuat keenam cowok itu melotot mendengarnya.

"Hah, apa? Lo mau die? Gak bakalan pernah bisa. Selagi ada kita berenam lo gak bakalan bisa ngelakuin hal yang aneh–aneh," Sahut Solar ketus.

"Haha. Kalian itu hanya sebuah perantara dari pembatas hidup dan mati gue. Dunia dan akhirat gue."

"Gue itu Kakak kalian. Bukan adik kalian. Gue lebih berhak ngacem lo berenam dari pada lo berenam yang ngacem gue," Halilintar tersenyum sumringah.

"Kata siapa kaloh kamu Kakak mereka, kamu bisa dengan mudahnya mengancam adek–adek kamu, hm?" Mereka menoleh pada ambang pintu. Terlihat kedua orang tua mereka tengah berjalan kearah mereka.

"Gak bisa nya karna apa?" Beo Halilintar menatap Sandra yang sekarang tengah mengusap rambutnya.

"Walaupun kamu Kakak mereka, tapi Mama yakin, adek–adek kamu masih bisa membantah apa yang kamu ancamkan ke mereka." Sandra tersenyum manis.

"Bener apa kata Mama kamu. Adek–adek kamu itu juga keturunan Papa. Gen membantah, keras kepala, suka seenaknya itu turunan dari, Papa, Elon." Timbal Rayendra.

Dan dari satu itu juga, gue benci. Kenapa dari sekian banyak nya pasangan Suami–Istri kenapa gue harus hadir sebagai salah satu anak gak berguna dari mereka?

Bukannya orang kayak gue cocok nya di panti asuhan ya? Atau paling enggak dapet keluarga yang menyandang status terburuk sekompleks rumah. Gue kan pembunuh, lantas apakah beneran bahwa gen pembunuh gue jatuh dari kalian?

Setelahnya, Halilintar hanya menatap dalam kedua orangtuanya. Dan selebihnya cowok itu memilih melamun lagi.

"Lo, bukan autis yang memiliki dunia nya sendiri. Jadi gak usah ngelamun. Ada yang lo pikirin, cerita sini sama adek–adek lo, sama Mama, Papa juga."

Forgive Us Brother | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang