29. Retak

262 31 1
                                    

Hari kembali berlalu.

Sudah terhitung, hampir 3 mingguan lebih Lunar meninggalkan kediaman Rayendra Family.

Namun, luka dan lara masih menyelimuti orang–orang yang berada dirumah.

Manusia itu bisa pergi, namun tidak tahu bagaimana caranya untuk melupakan sosok yang pernah hadir didalam hidupnya.

Ibaratnya gini, walaupun kita bisa menemui orang baru, tapi tetep saja kita tetap akan selalu mengingat yang ada dimasalalu.

Dalam keadaan apapun itu. Dan satu hal yang selalu manusia alami, dan itu nyata hampir terjadi disetiap orang.

Selalu membandingkan–bandingkan seseorang yang baru dan orang lama. Dalam fase apapun itu, masalalu tetap jadi pemenangnya.

"Raga mu sudah menyatu dengan tanah, Nak. Tapi kenangan kamu masih ada dalam benak Mama."

"Mama masih ingat, dulu pernah menggendong mu, merawat mu, membesarkan mu, bahkan Mama tau rasanya sakit saat melahirkan mu. Mendengar tawa dan canda mu. Kejahilan kamu, dan tangisan kamu waktu baru keluar dari rahim Mama,"

"Mama masih mengingatnya. Begitu indahnya pada saat itu. Tuhan, bisa kah waktu diputar kembali?"

"Jika bisa, aku hanya ingin mati disaat melahirkan mereka." Menolong wanita itu, dengan tatapan kosong menatap kearah luar.

Angin berhembus dengan kencang, membiarkan anak rambut nya yang ditiup–tiup oleh angin.

"Mama?" Seakan tuli, Sandra sama sekali tidak memperdulikan seseorang yang tengah memanggil namanya. Wanita itu masih setia menikmati angin, dikala rasa sakit yang menyeruak didalam hatinya.

Anak kecil itu tersenyum, dengan langkah kecilnya bocah itu mendekati Mamanya. "Mama, Mama ngapain disini? Angin disini gak baik buat Mama."

"Mama sendiri yang bilang sama aku, kaloh misalnya, angin malem itu gak baik buat tubuh manusia." Anak kecil itu tersenyum hangat, saat Sandra hanya bisa menatapnya diam.

"Tuh kan, tangan Mama aja dingin. Mama gak ngerasa kedinginan gitu?" Katanya, setelah menyentuh punggung tangan Sandra.

Sandra kembali terdiam. Bola mata hazel nya menatap lekat manik semerah batuk giok itu.

'Bu, Ibu tau gak, kata nya penyebab kematian sih Lunar anak bungsunya Bu Sandra itu karna anak sulungnya sendiri tau,'

'Iya saya denger–denger adeknya itu mau nyelamatin sih Kakaknya yang hampir ketabrak mobil. Coba aja kaloh Lunar gak nyelamatin sih Halilintar, pasti udah beda lagi kan ceritanya?'

'Iya atuh, jadi teh penyebab Lunar meninggal teh gara–gara sih Halilintar yang ceroboh, coba aja waktu itu Halilintar bisa cepat menyadari kedatangan mobil truk itu, pasti semuanya gak bakal jadi kayak gini,'

'Beh, bener banget Bu. Jadi bisa kita simpulkan disini, bahwa kematian Lunar terjadi karna kelalaian Halilintar. Kecil–kecil pembunuh tanpa menyentuh korbannya ya, Bu?'

Sandra terdiam. Telinganya sedari tadi tidak berhenti untuk mendengarkan ucapan beberapa Ibu–Ibu yang datang dalam acara tahlilan yasinan Lunar beberapa Minggu yang lalu.

Halilintar, anaknya pertamanya, apakah benar dia yang membunuh Lunar?

Apa pantas, ucapan Ibu–Ibu penggosip itu dibenar kan?

Namun, jika melihat dari segi positif nya, memang begitulah nyatanya yang terjadi.

Jika saja Halilintar cepat menyadari saat itu juga, semua ini tidak akan terjadi.

Anaknya pasti masih ada disini. Menampilkan senyumannya kepada dirinya.

Masih bisa tertawa dan menikmati waktu bersama dengan keluarganya.

Dan bukannya malah pergi ketempat lain.

"Mama? Mama kenapa diam aja, ini aku bawain–"

Prang!

"...." Halilintar terdiam saat nampan berisi makanan itu dibuang dengan Sandra begitu saja.

"Ma.... Kenapa Mama buang? Makanan itu aku buat khusus untuk Mama. Mama suka nasi goreng teri sosis kan?" Tanya Halilintar mencoba tersenyum.

Sandra bangkit dari duduknya. "Saya gak butuh makanan dari kamu. Mending kamu pergi dan urusin diri kamu sendiri, saya bisa mengurus diri saya sendiri tanpa perlu bantuan dari kamu." Katanya ketus.

"Ma... Aku tau Mama kecewa soal kejadian itu, tapi ajal–"

"Iya saya kecewa. Saya kecewa karna kelalaian kamu, buat anak saya meninggal."

Deg

Halilintar terdiam sejenak. Hatinya tersayat mendengar ucapan pedas dari mulut Sandra.

"Ma---Mama nyalahin aku, atas kematian Lu--nar?"

Sandra mengangguk. "Iya, saya menyalahkan kamu. Karna kelalaian kamu anak saya pergi. Saya berpesan sama kamu untuk menjaga anak saya, tapi ini kamu–"

"SANDRA! Sudah, jaga bicara kamu. Dia anak kamu! Tidak sepatutnya kamu menyalahkan dia atas kematian Lunar." Dengan perasaan kesal, Mesya yang sedari tadi hanya menyimak dari jauh akhirnya datang dan memarahi sikap menantunya itu.

Sandra tersenyum miring. "Mama ngebelain anak sialan ini? Mama tau, anak aku meninggal gara–gara anak sialan ini! Jika saja dia tidak ceroboh waktu itu, mungkin saja Lunar masih bersama dengan kita Ma!"

Plak!

Wajah Sandra tertoleh kearah kanan akibat tamparan dari Mesya. Separuh wajahnya terasa panas akibat tamparan itu.

"SANDRA! kamu itu seorang Ibu. Seharusnya kamu menyemangati anak kamu, bukannya malah menghina anak kamu. Kamu jangan nyalahin anak kamu atas kematian Lunar!"

"Lunar pergi karna emang udah ajal nya! Kamu menyalahkan Halilintar apakah itu bisa buat Lunar kembali, iya?"

"Mama tau kamu sedih, tapi enggak gini caranya Sandra. Kamu menyakiti hati anak kamu sendiri,"

"Kamu bukan menantu Mama. Kamu berubah. Menantu Mama itu gak pernah menghina–hina anak–anaknya sendiri."

"Asal kamu tau, disini yang sakit bukan cuman kamu aja Sandra. Kami semua sakit, kami tau apa yang kamu rasain. Bahkan, Halilintar lebih parah dari kamu. Seharusnya kamu bisa kuat menghadapi semua ini, bukannya malah buta arah karna omongan orang–orang diluaran sana!"

"Kamu tau, seberapa keras Halilintar memasak nasi goreng itu buat kamu? Dia sampe rela tangannya tergores pisau hanya karna ingin membuat nasi itu buat kamu, tapi kamu? Dengan mudahnya membuang nasi itu ketanah." Kata Mesya dengan emosi yang memuncak.

Sandra terdiam, dia memandangi jari telunjuk Halilintar yang terluka. "Terserah Mama. Aku capek. Kaloh Mama emang bener–bener sayang sama anak sialan itu silahkan. Aku enggak ngatur. Yang perlu Mama tau hanya satu, anak itu gak berguna. Cuman pembawa sial aja. Aku menyesal pernah melahirkan anak itu kedunia ini," Ujarnya lalu berlalu pergi dari sana.

"SANDRA!!" Teriak Mesya kesal.

"Oma, udah ya? Elon gak papa kok. Mama cuman lagi kesepian aja, Oma jangan marah–marah ya sama Mama?" Kata Halilintar setelah lama terdiam.

Meskipun, ucapan Mama tadi ada benarnya juga. Lunar mati karna kelalaian aku, Oma, jadi Mama pantes benci sama aku.

Mesya tersenyum hangat, lalu menarik Halilintar kedalam dekapannya. "Maafin Mama kamu ya sayang? Dia cuman lagi emosi aja. Oma akan selalu ada buat kamu,"

Forgive Us Brother 2–

Bau–bau konflik masalalu emang bikin happy gini ya gak?

By : @AqueeneIntan.

Forgive Us Brother | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang