19. Kecelakaan

713 86 10
                                    

Sesuatu yang berhubungan dengan takdir, tak akan pernah ada yang tahu kecuali Tuhan yang sudah mengaturnya.

•••••

1 Januari 2023.

"Kaloh semisalnya kamu sakit, mending duduk diem aja dirumah,"

"Kamu gak liat apa bibir kamu itu pucet banget kayak mayat hidup?"

"Nanti kaloh misalnya kamu kenapa–kenapa disekolah gimana? Emangnya kamu mau pingsan tiba–tiba disekolah, hm?"

"Mama, sama Papa bukan ngelarang kamu buat gak sekolah, Elon. Tapi kamu juga harus mikirin tubuh kamu, tubuh kamu itu lebih penting dari pada sebuah kertas, sebuah nilai, sebuah absensi."

"Coba deh kamu pikir dulu, semisalnya kaloh nilai kamu kurang kan bisa dikejar lagi? Absensi kamu bolong sehari aja gak papa, Nak. Kertas yang kosong? Masih bisa kamu isi dengan tulisan lagi diesok hari, tapi kaloh misalnya kamu sakit itu bakalan 3 sampe 4 hari sembuhnya, Elon,"

"Apalagi kamu yang keras kepala kaloh udah disuruh makan, minum obat sama istirahat, ada aja alasannya," Oceh Sandra saat melihat Halilintar yang masih besikekeh ingin pergi kesekolah hari ini.

Bukannya tidak boleh, tapi mengingat Halilintar baru saja selesai melakukan operasi membuat Sandra jadi cukup khawatir dengan kesehatan Halilintar.

Kebiasaan nya ibu–ibu ya gini, suka ngocehin anaknya mulu.

Padahal kan gue udah besar ya, bisa jaga diri sendiri.

"Ma... Aku baik–baik aja kok, Mama percaya deh sama aku, ya?"

"Kan bekas operasi nya udah masuk hari keempat, jadi kemungkinan udah agak kering,"

"Izini aku sekolah ya? Aku udah gak papa kok, Ma, jangan khawatir. Tubuh aku masih fit kok buat sekolah,"

"Izinin ya? Ya? Pliss!" Melas Halilintar.

Sandra menghela nafasnya gusar. "Ya udah boleh, tapi inget kaloh pusing–"

"Langsung kasih tau mereka kan? Udah lah gak perlu Mama bilang itu lagi ke aku, aku udah selalu tau apa yang akan Mama katakan kaloh aku lagi kayak gini,"

.
.
.

Tessss!

Aws, anjir berasa kayak ada yang netes dengan deras dibelakang punggung gue, tapi apa ya?

Jahitan nya lepas kah? Maybe kali iya, lagian Dokternya terlalu goblok kaloh kata gue sih, kenapa gak ngasih lewat selang infus aja buat ngalirin darah merah ke tubuh gue, eh malah lewat cara punggung belakang lagi.

Sialan emang. Kepala kena, punggung belakang kena, punggung tangan juga kena. Ajg emang.

"Are you okay, Halilintar?"

"Gue baik, kenapa?"

"Gak papa, soalnya gue perhatiin dari tadi lo ngerasa kayak gak nyaman gitu sama punggung lo. Kenapa sama punggung lo? Sakit atau..."

"Gak ada, gue cuman pengen nyender aja, capek duduk tegak lurus mulu dari tadi,"

"Beneran? Gak ada yang lo sembunyiin kan?" Ulang Voltra. Memang cukup aneh, tapi Voltra adalah teman sebangku Halilintar dari kelas X sampai sekarang.

"It's okay, no problem,"

"Ya udah kaloh ada apa–apa bilang ya!"

"Hm," Jawab Halilintar singkat lalu bola matanya kembali memandangi langit siang hari yang cerah.

Beberapa menit lagi, pelajaran akan usai. Waktu pulang sekolah pun akan tiba.

Entah kenapa gue ngerasa, akan terjadi sesuatu hari ini. Sebuah tragedi, maybe?

Tapi apa? Dan kenapa gue takut? Takut untuk melihat aspal, bahkan kayak.. emm dejavu ngeliat tukang cilok... Apalagi truk...

.
.
.

"Kak!"

"Apa?"

"Thorn kesebrang sana dulu ya!"

"Mau ngapain kamu kesana?"

"Mau beli... Cilok ehehe. Gak tau kenapa tapi Thorn lagi kepingin banget sama cilok, boleh ya? Ya?" Melas Thorn dengan pupil eyes.

Halilintar terdiam mematung saat mendengar nama cilok. Bahkan menyebrang kejalan raya. Agak ya takut gitu.

Gue pesimis kenapa sih anjir? Toh juga kan cuman tukang cilok tapi... Akh! Udahlah!

"Ya udah boleh, asal jangan lama–lama plus, perhatikan jalan kamu oke?" Pinta Gempa, dengan cepat membuat cowok imut itu mengangguk.

Halilintar menatap lama Thorn yang sedang berusaha ingin menyebrang kembali kesini, usai membeli cilok tadi.

"IH THORN BURUAN GUE–ANJIR DEK CEPETAN LARI ANJOY ITU ADA TRUK BEGO!" Teriak Blaze panik saat melihat dari arah kanan mobil truk oleng melihat dengan cepat. Sementara Thorn? Pemuda itu hanya diam mematung disana.

Deg

"THORN ANJIR AYO LARI KESINI BANGSAT! NGAPAIN LO DIEM AJA HAH?!"

"LARI THRON LARI!"

"ANJIR LAH LARI WOI KAKEL IMUT! NGAPAIN ELU BENGONG DISITU ANJIR!"

Teriakan siswa–siswi bahkan para BoEl terdengar. Namun Thorn hanya diam saja. Kakinya mati rasa disana.

Dan lebih tololnya lagi, orang–orang hanya mampu berteriak, namun tak mampu untuk sekedar menolong dan menarik tangan Thorn agar menepi dari tengah jalan.

"G--gak bisa! Kaki aku mati rasa! Susah digerakin!" Jawab Thorn ketakutan.

"Anjir lah–LOH BANG LO MAU KEMANA?! DISANA BAHAYA COK!"

"Lebih bahaya lagi adek gue bangsat! Lo semua cuman bisa teriak doang kan? Gak ada yang mau nolongin kan? Alasannya apa? Takut, iya, hm?" Sentak Halilintar. Rahang cowok itu menggeram marah.

"Bukan kita–BANG! WOI LAH NGAPAIN NEKAT ANJIR!" Bukannya berhenti berteriak justru mereka malah tambah heboh sendiri.

"Mau ngapain lo kesana, Fan?" Cegat Gempa.

"Lo gak liat Abang sama Adek lo mau kelindes mobil? Dan gue malah–"

"Jangan bertindak ceroboh! Lo gak inget Mama hampir gila karna kehilangan siapa? Lunar! Dan sekarang lo mau bikin trauma Mama kembali, iya?!"

"Tapi... Masalahnya itu–"

"Gue tau, tapi kita gak punya pilihan lain selain berdoa." Ujar Gempa dengan kepala tertunduk.

Cowok itu menutup telinganya, kala suara dentuman keras terdengar.

Aku mati sekarang disini ya? Takdir aku sama kayak Lunar ya? Sama–sama mati ketabrak truk?

Mama... Maafin Thorn ya kaloh Thorn punya salah sama Mama. Thorn juga minta maaf sama Papa kaloh belum bisa banggain Papa.

Semoga setelah Thorn gak ada Kak Elon bakalan jadi lebih menghangat lagi. Meskipun Thorn cuman bisa liat dia dari atas–

"K--kak Elon ngapain Kakak kesini? Lari Kak! Lari jangan disini! Biarin aku aja yang–"

"Gue gak mungkin ngebiarin lo mati Filan, gue sayang sama lo. Dan gue gak mau gagal lagi untuk yang kedua kalinya sebagai seorang Kakak."

"Lebih baik gue yang mati, ketimbang lo,"

"Kak jangan–akh! KAK HALILINTAR!"

BRAKK!

°°°°

NEXT GAK?

By : @AqueeneIntan.

Forgive Us Brother | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang