33. Menyerah Atau Bertahan?

269 37 2
                                    

"Bu, Ibu kenapa sih masih mau aja memperkejakan Halilintar disini? Dia itu hanya bocah SMP yang gak tau apapun, Bu."

"Memang sih cara kerja dia agak bagus tapi kan gak seharusnya Ibu memperkejakan dia disini."

"Iya, Bu lagian kan Halilintar itu punya rumor yang beredar dimasyarakat, Bu, katanya." Kata salah satu pegawai disana.

Sementara–Linda sang pemilik cafetaria itu menatap datar dua karyawan nya yang sedari tadi membicarakan Halilintar itu.

"Memangnya kenapa jika Halilintar kerja disini, hm? Dia disini oke–oke aja saya lihat. Saya tau gak sepantasnya saya memperkerjakan anak SMP disini, tapi kalian seharusnya mengerti akan kondisi dia sekarang."

"Dia butuh uang buat hidup dia. Dia butuh uang buat bayar sekolah dia. Lagian dia kerjanya halal kok, kenapa kalian malah jadi ribut kayak gini? Memangnya kalian pernah merasakan jadi dia, hm?"

"Terus juga, rumor apa yang kalian maksud tentang dia?" Tanya Bu Linda menatap datar kearah dua karyawan nya itu.

"Katanya sih Bu, denger–denger dari tetangga dia itu sempet bunuh adek dia dulu waktu SD, terus juga nenek nya meninggal gara–gara ditemenin sama dia."

"Mangkanya dia itu dibuang sama keluarganya, Bu. Papa nya aja udah gak mau lagi membiayai sekolah dia, Bu mangkanya dia nekat nyari kerja sendiri."

"Terus juga katanya dia cuman dijadikan mainan sama keluarganya sendiri Bu." Kata Santi, salah satu karyawan yang bisa dibilang juga pernah tinggal di komplek yang sama dengan Halilintar.

"Astagfirullah, keterlaluan sekali keluarga nya itu." Kata Bu Linda memandang kasihan kearah Halilintar yang tengah sibuk membersihkan beberapa meja cafe.

"Lho kok Ibu ngomong kayak gitu sama dia? Kan dia–"

"Kalian ini gak ada jauh bedanya sama keluarga dia. Kematian itu bukan datang dari manusia. Tapi kematian datang karna memang sudah ajalnya."

"Kalian tidak berhak menyalahkan dia dalam hal itu. Lagian kalian tidak tau kan gimana jelas kejadiannya seperti apa? Bisa saja itu hanya sebuah fitnah."

"Hati nurani keluarganya itu sudah ditutupi oleh kebencian dan kesalahpahaman. Sampai–sampai mereka tega memperlakukan seperti itu dengan dia."

"Dia itu juga manusia. Coba saja jika kalian menjadi dia, apa kalian mau dibuang sama keluarga kalian sendiri? Gak dianggap apapun disana? Hidup cuman dijadikan mainan dan harus terus–menerus disalah kan oleh keadaan? Dia juga harus menghidupi dirinya sendiri dimasa remaja, belum lagi dia harus siap menerima lontaran kata–kata pedas dari mulut orang–orang disekitarnya."

"Memangnya kalian mau jadi dia? Memangnya kalian bisa sekuat dia, hm?" Tanya Bu Linda membuat kedua karyawan itu yang tadinya terdiam hanya mampu menggeleng kan kepala mereka.

"Jangan mudah termakan gosip apalagi termakan benci yang ujung–ujungnya cuman buat semuanya jadi buta keadaan, dan menyakiti mental seseorang."

"Itu hanya tipu daya bisikan setan saja. Sudah–sudah detik ini juga saya tidak mau mendengar kalian membicarakan tentang Halilintar atau apapun yang berkaitan dengan dia."

"Saya tidak suka ada manusia yang merecoki bahkan ikut–ikutan merusak mental seseorang, apalagi yang kalian bicarakan itu hanya seorang bocah SMP yang berusia 14 tahun." Kata Bu Linda.

Dalam diamnya, Halilintar yang sedari tadi mendengarkan semua pembicaraan mereka akhirnya hanya mampu tersenyum tipis, melihat Linda yang membela dirinya didepan dua karyawan itu.

Hati mungil Halilintar tersentuh sedikit saat mengetahui masih ada manusia baik yang menerima dirinya apa adanya.

Makasih Tuhan, makasih karna masih ada orang–orang baik kayak Bu Linda. Semoga orang–orang baik kayak mereka gak diambil duluan ya tuhan.

Dunia terlalu banyak orang jahatnya, ketimbang orang baiknya.

.
.
.

"Janji ya, Pa. Nanti kaloh tuh anak sialan pulang Papa pukul dia, oke?" Ujar Solar dengan muka cemberut nya kepada Rayendra.

"Iya Solar, Papa janji kok Papa bakalan hukum dia. Berani sekali  dia bikin anak kesayangan Papa ini jadi sedih, kamu tenang aja ya?"

"Sekarang mending kamu masuk kamar gih sana,"

"Asiap Pa, thanks Pa sekali lagi yaaa, Solar sayang deh sama Papa." Kata Solar membuat Rayendra mengangguk dan juga tersenyum manis.

Tak lama dari kepergian Solar, pintu ruang tamu utama terbuka, menampilkan Halilintar yang masih memakai seragam putih biru yang agak kotor ditubuhnya.

Dengan wajah lelah menghiasai wajah tampannya, dan bibir pucatnya yang menghiasi bibir indah pemuda itu.

Ceklek.

"Pulang juga akhirnya kamu." Kata Rayendra datar.

Halilintar menatap Rayendra yang seperti nya tengah marah dan kesal kearah nya. Ayolah tuhan, apalagi yang Halilintar perbuat? Sampai–sampai membuat Rayendra menunjukkan wajah tak bersahabat dengan nya.

"Papa ken–"

"Kamu masih nanya kenapa hah? Solar tadi ngadu ke saya kaloh kamu maki–maki dia!"

"Enggak Pa, aku gak maki–"

"Halah pembohong kayak kamu memangnya bisa bikin saya percaya hah? Saya cuman percaya sama anak saya bukan sama pembunuh kayak kamu!"

"Dan satu lagi sudah berapa kali saya bilang sama kamu, saya bukan Papa kamu lagi! Bahkan saya tidak sudi membiarkan kamu ada dirumah ini, Halilintar!"

"Sekarang, kamu cepet ikut saya kegudang, saya akan menghukum kamu atas kesalahan kamu itu."

Halilintar hanya diam dan menuruti semua perintah Rayendra. Dia tidak bisa berbuat apapun sekarang.

Malam ini, Halilintar kembali merasakan sakit, ralat setiap malam, setiap detik adalah neraka dunia bagi hidupnya.

Ya Tuhan kenapa hidup gue jadi gini sih? Gue juga manusia, gue bukan mainan bagi manusia lain ya Allah.

Kapan sih semua ini selesai? Atau setidaknya buat lah gue benar–benar mati dalam siksaan mereka itu.

Jangan batin gue, mental gue, fisik gue, hati gue aja yang mati tuhan.

Kaloh bundir itu dibolehkan dalam Islam bahkan tidak berdosa melakukan hal itu, mungkin sudah dari dulu raga ini melebur dengan tanah.

-----

Menuju ending siapp gak nihhh? Atau masih mau diperpanjang dulu ceritanya?

By : @AquenneIntan.

Forgive Us Brother | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang