28. Di Adzani

332 43 2
                                    

Pemakaman tampak sedang rame hari ini. Banyak orang yang berbaju hitam yang sedang berlalu–lalang disana.

Ada yang mengucapkan bela sungkawa mereka. Ada yang menangis. Ada yang membantu menguburkan seseorang ketempat peristiwa terakhirnya.

Ada juga yang tengah berziarah kubur.

"Una.... Kok Una tega sih ninggalin Mama, hm? Kata kamu kemarin, pagi ini mau ngajak Mama jalan–jalan pagi ketempat orang rame."

"Kata kamu, kamu gak bakalan ninggalin Mama. Tapi ini apa, Nak? Kenapa kamu ninggalin Mama sayang..... Mama masih butuh kamu, kamu anak Mama."

"Mama gak bisa ngerelain kamu pergi. Mama gak bisa ikhlas Lunar....."

"Seandainya nyawa Mama bisa Mama tukar, Mama mau tukar posisi aja sama kamu," Kata Sandra seraya menatap kosong kearah batu nisan anaknya.

Sekarang, anaknya sudah berada dialam lain. Anaknya kembali di ambil oleh tuhan. Sekarang, anaknya hanya lah sebuah nama tanpa raga lagi.

Tidak ada lagi canda dan tawanya. Senyum nya yang manis, lesung pipinya, keceriaan nya bahkan kejahilannya.

Semuanya telah lenyap.

"Una.... Una kok pergi sih? Padahal Onni udah nyiapin mainan baru lho buat kita main sama–sama lagi, Una gak mau bangun gitu buat main bareng sama Onni?"

"Nanti kaloh Una tidur, terus Onni mainnya sama siapa dong? Masa iya sih Onni harus main sama Bian, nanti Bian malah jadiin Onni bahan percobaan nya lagi ...." Kata Thorn, anak itu menangis di dalam pelukan Taufan.

Halilintar hanya diam. Anak itu lebih sakit dari keluarganya yang lain.

Dia menyaksikan semuanya sendiri dengan mata kepalanya.

Adiknya menyelamatkan dirinya dari sebuah mobil yang hendak menabrak nya.

Darah adiknya menetes kedalam baju putih–merahnya. Tangannya kotor dengan darah adiknya. Dia mendengar sendiri rintihan suara kesakitan adiknya, saat mengatakan sesuatu.

Adiknya ..... Kritis, dan hanya dia yang melihat saat detik–detik itu.

Kenapa kamu nyelamatin aku Una?

Kenapa kamu gak biarin aku aja yang didalam.

Atau .... Paling tidak, biarkan kita pergi bersama–sama. Aku mau nemenin kamu, biar kamu gak kesepian disana.

Tapi, kenapa kamu tidak mengajak ku? Kamu tau, Mama sangat sedih gara–gara kamu pergi.

Setelah dari sini, suasana rumah kita bakalan beda ya, Dek? Hari ini, malam ini, rumah kita bakalan rame, ada acara.

Tapi kenapa kamu gak ikut serta dalam acara itu?

Kata kamu, kamu hari ini ada lomba Adzan disekolah, tapi kenapa kamu pergi adek?

Bahkan, Kakak belum sempat mengucapkan salam perpisahan sama kamu. Kakak terlalu bodoh saat itu.

Ayo bangun lagi, Lunar. Kakak mau ngeliat kamu. Kakak kangen senyum kamu. Pelukan kamu. Manjanya kamu. Kakak juga belum denger suara Adzan kamu.

Lunar.... Kamu memang tidak mengumandangkan adzan untuk semua orang. Tapi, semua orang lah yang mengumandangkan adzan buat kamu.

Halilintar masih setia diam. Meskipun batin bocah itu tidak akan pernah berhenti untuk berkata 'ayo bangun'.

Mesya menoleh kearah Halilintar. Sejak kemarin sore sampe pagi ini, bocah itu tidak ada niatan untuk membuka suara nya.

Bahkan, kemarin hampir dihitung dirinya mogok makan, saat Mesya menawarkan makan malam untuk nya.

Mesya yang berada disamping Halilintar, mulai mengelus punggung cucunya itu. "Hey, udah ya, jangan nangis, ikhlasin kepergian adek kamu. Kamu Kakak yang kuat, Elon."

"Kamu mungkin kehilangan salah satu dari mereka. Tapi kamu, masih harus menjaga yang tersisa dibumi ini."

"Tuhan, ngambil Lunar, karna rasa sayang Tuhan lebih besar dari pada kita."

"Setiap manusia yang lahir kedunia, akan bernafas. Dan akan kembali lagi ketanah dengan keadaan tidak bernafas."

"Halilintar percaya deh sama Oma, sehabis kita pergi dari sini, Lunar pasti langsung jalan–jalan ke surga. Tempat yang indah dari dunia." Mesya memamerkan gigi rapinya, dengan tangannya yang sudah beralih mengusap pucuk kepala Halilintar.

Halilintar hanya diam. Anak itu memandangi kearah, Sandra, Rayendra dan keenam adiknya, dari kemarin, ia sama sekali tidak mendapatkan sapaan dari mereka.

Ya, Halilintar cukup yakin, mungkin itu karna semua orang disini masih sedikit berduka.

"Maaaf .... Aku gagal." Gumam nya sangat kecil. Namun, Solar yang berada tempat disisi Halilintar juga mendengar gumaman itu.

Anak itu melirik sedikit Halilintar lalu kembali berujar di dalam hatinya.

Kakak jahat, gara–gara Kakak Una pergi.
Kenapa Kakak gak hati–hati dalam berjalan?
Andai kata aku ada disana waktu kejadian, semua ini gak bakalan terjadi.

Andai kata Kakak lebih hati–hati lagi, Una pasti masih bisa bermain disini sama kita.

Kakak jahat. Kakak pembunuh. Bian benci sama Kakak!

FUB S2–

Sebenarnya aku nulis apaan sih? Gaje bener dah. Au ah, semoga nikmat yaaaaa.

By : @AqueeneIntan.

Forgive Us Brother | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang