35. Kesakitanmu Adalah Kesenangan Bagi Kami

210 29 16
                                    

"Huek...huek...huek..." Halilintar terus–menerus memuntahkan darah setelah dirinya sadar dari acara pingsannya.

Wajah cowok itu sangat pucat, seperti mayat hidup. Dan jangan lupakan, kepalanya yang seperti ingin pecah sekarang.

Sakit.

Tapi candu.

Bodoh, itulah Halilintar.

"Arkh, sial kenapa sakit banget..... Padahal sebelum–sebelumnya enggak papa aja tubuh gue dikasih racun."

"Shhhh, sebenarnya Solar ngasih gue racun jenis apa sih? Sianida? Racun tikus? Racun gajah? Racun manusia? Atau..... Dia menggabungkan semua racun–racun itu menjadi satu lagi?" Halilintar diam sejenak memerhatikan wajahnya di pantulan cermin.

Ganteng iya, cantik iya, pucat iya, kayak mayat hidup iya, tirus iya, kurang tidur iya, mata panda iya, pandangan kosong iya, bibir seksi walaupun pucat iya.

Uhh, sangat sempurna sekali.

"Heran.... Tuhan kau menciptakan ku dengan apa sih? Kok bisa–bisanya organ tubuh gue gak rusak pas dikasih racun?"

"Apa jangan–jangan selama ini..... Gue bukan manusia ya? Apa gue ini adalah reinkarnasi dari seseorang? Apa gue ini siluman manusia ya? Akh! Ayolah kenapa gue jadi memikirkan ini?"

"Kepala gue sakit banget sial.... Rasanya mau meledak jika saja kepala ini adalah buatan manusia, gue rasa kepala ini udah meledak dari dulu, maybe."

"Huh? Sial, makin sakit," Rutuknya.

Bruk!

Halilintar ambruk setelah beberapa detik terdiam dalam menunduknya.

Cowok itu pingsan dikamar mandi. Tentunya, dengan wastafel yang masih dipenuhi oleh genangan darah.
.
.
.

"Lar,"

"Lar, Ler, Lar, Ler lo kate gue Lareng apa hah?!"

"Ck. Sama aja, itu singkatan dari nama lo tau."

"Panggil gue Albian juga bisa kan?! Gak perlu pakek manggil Sol apalagi Lar. Gak aesthetic banget sumpah."

"Ya maap. Orang udah kebiasaan manggil itu ke lo." Ujar Blaze tanpa dosa. Sementara Solar hanya mampu mendengus kesal mendengar nya.

"Eh iya, lo kasih apa si sialan itu? Gue liat–liat dia pucet banget tuh, mana muntah–muntah terus dari tadi,"

"Lo khawatir sama dia?" Tanya Solar.

Blaze menautkan satu alisnya bingung. "Gue? Khawatir sama dia? Yang bener aja lah, gue kan cuman nanya doang ege."

"Lagi pula gue suka kok ngeliat dia ke siksa kayak gitu. Anggap aja imbas dah buat ulah dia waktu itu."

Solar terkekeh pelan, Blaze memang tidak jauh bedanya dengan dirinya. "Gue cuman ngasih dia racun sianida, racun gajah, racun tikus, racun manusia, racun yang bikin dia mati secara perlahan,"

"Lo gabungin racun–racun itu?" Tanya Blaze membuat Solar mengangguk.

"Dan setelah gue gabungin semua racun itu, terus gue kasih sedikit ramuan sama racun dari Prof Shiax Oney."

"Anjir gilak keren banget lo. Belajar dari mana?"

"Prof Shiax Oney."

"Gak salah sih lo belajar sama dia, secara kan dia ilmuan gila. Penemuan nya aja gak masuk akal semua."

"Emm, Lar."

Lar lagi Lar lagi dikira gue sakelar lampu apa hah?!

"Apa?" Tanya nya datar.

"Virus sama ramuan apa yang lo kasih ke dia?"

"Enggak tau gue, itu semua penemuan nya Prof Shiax, dia bilang orang yang minum ramuan itu bakalan ngerasain sakit untuk beberapa hari kedepannya."

.
.
.

Byur!

Halilintar menggeliat kaget saat sebuah air dingin mengenai tubuhnya, dia mencoba membuka matanya, dia menatap sosok yang memandangi dirinya datar.

Itu...., Taufan, adik pertamanya.

"Kenapa lo malah enak–enakan tidur di kamar mandi hah? Mau caper lo sama kita–kita iya?"

"Supaya kita–kita kasihan sama lo, terus gak nyiksa dan nyuruh–nyuruh lo lagi iya gitu? Jangan naif gue gak bakalan pernah nganggep lo Kakak gue lagi."

"Fan.... Gue cuman–"

"Halah alesan aja lo tai, mending lo pergi kebawah dan beresin rumah sana, gue sama yang lain bakalan pergi sama temen–temen gue."

"Ohh dan ya, jangan sok lemah deh cuman gara–gara dikasih racun sama Solar aja langsung pingsan, biasanya juga lo gak papa kan?"

"Lo hampir tertabrak aja gak ada tuh pingsan–pingsan nya memang dasar tukang drama lo." Taufan bangkit dari acara jongkok nya, lalu cowok itu tersenyum tipis melihat wastafel kamar mandi Halilintar yang dipenuhi oleh darah.

Ya, Halilintar muntah darah seperti nya, itu lah yang dapat Taufan simpulkan sekarang.

"Ohh dan jangan lupa ya, selalu keluarin darah lo itu, selalulah kesakitan Halilintar karna suara sakit lo itu adalah kesenangan gue sama yang lain ahaha." Ujar Taufan membuat Halilintar terdiam dan memandangi kepergian cowok itu.

Taufan berubah. Dia bukan adiknya yang dulu.

"Fan lo sama yang lain benar–benar berubah ya? Sifat kalian yang dulu kemana? Gue rindu sama kalian yang dulu."

"Gue rindu kehidupan lama gue. Gue rindu kalian. Gue rindu kasih sayang kalian. Gue butuh pelukan kalian, disini dingin. Kalian nggak ada niat kah untuk membuka hati kalian sekali lagi buat gue?"

"Gue disini menunggu kalian semua.... Gue seolah–olah patung dingin yang bernyawa tapi tidak dianggap keberadaan nya."

"Lun? Apa enggak bisa lo ngambil alih tubuh gue, hm? Setidaknya gimana kaloh kita tukar tempat aja? Biar lo yang jadi gue dan gue yang jadi lo."

"Oma ..... Elon butuh pelukan,"

"Kalian suka banget ya sekarang ngeliat gue kacau dan luka kayak gini?" Halilintar tersenyum tipis.

"Jika suatu saat kalian telah menyesali perbuatan kalian ku mohon jangan datang ke aku lagi, karna aku sudah tidak akan pernah lagi berharap apapun tentang kalian dihidup ku."

"Mungkin...... Udah waktunya, gue nganggep diri gue sendiri menghilang dari bumi ini."

"Buat apa juga gue hidup kaloh misalnya raga gue disini tapi pikiran gue, batin gue, mental gue bahkan fisik gue sudah bukan didunia lagi?"

"Haa... Rasanya, gue ingin bebas seperti burung. Burung saja bisa terbang bebas kemana pun yang dia mau, lantas gue kapan ngerasain hal yang sama kayak burung?"

–Bersambung–

Sini Lon, terbang ke gue aja nanti gue kasih ayam goreng hidup–hidup ke lo hihi.

By : @AqueeneIntan.

Forgive Us Brother | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang