BAB 42 - DARAH

3.5K 162 7
                                    

Semua orang syok, pun dengan Alexander yang kini berhasil menyerang Ryan hingga jatuh ke atas tanah dan mengacungkan pisau itu ke leher Ryan.

"Ha ha ha." Namun, Ryan malah tertawa terbahak-bahak. Satu peluru lepas dan Ryan tahu dengan apa yang baru saja ia lakukan.

Mata Alexander melebar. Ketika ia sadar bahwa bukan dirinya yang Ryan tembak, Alexander segera menoleh ke arah belakang dan benar saja ...

Joana sudah tergeletak jatuh bersimbah darah.

Alexander syok. Air mata itu langsung turun ketika menyadari bahwa yang Ryan tembak adalah istrinya sendiri.

"Ha ha ha. Hanya ada satu peluru dan bukan kah aku tidak boleh menyia-nyiakannya?"

"JOANA!!!"

Alexander syok. Matanya melebar dan langsung berlari ke arah Joana. Alexander segera mencari di mana bekas luka tembakan itu dan berusaha segera menghentikan pendarahan dengan menyobek beberapa bagian kemeja yang ia kenakan.

"Alex ..."

Napas Joana sudah terputus-putus. Tembakan yang ada di perut Joana masih terus mengeluarkan darah padahal Alexander sudah menutupnya. Situasi sudah berubah menjadi genting. Alexander panik luar biasa. Mereka berada di tengah-tengah hutan dan Alexander tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa.

"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku sudah meminta Joana untuk memilih hidup atau mati. Sudah aku katakan kalau dia mau hidup, dia harus membunuhmu. Tapi sayang, sampai hitungan ketiga dia tidak mau menghunuskan pisau ke tubuhmu."

Ryan tertawa kemudian bangkit. Ia melihat ke arah Joana yang sekarat itu dengan muka yang sangat bahagia.

"Ha ha ha. Tempat ini terlalu jauh dari jalanan yang bisa menyelamatkan istrimu. Darah itu akan terus mengalir dan Joana akan mati karena kehabisan darah."

Ryan melemparkan pistol itu ke segala arah. Hanya ada satu peluru dan ia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Ia masih mengamati wajah frustrasi Alexander. Wajah putus asa itu semakin membuat Ryan bahagia setengah mati. Ia sudah terlalu lama menunggu untuk melihat pemandangan seperti ini. Di mana Alexander tidak berdaya dan merasa patah hati.

"Joana ... aku mohon bertahan lah."

Joana sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sudah lemas kehabisan tenaga. Bernapas saja ia sudah terlihat putus-putus. Rasa sakit dan nyeri berkumpul menjadi satu. Membuka mata pun ia juga merasa sudah tidak sanggup. Bayangan hitam terus berusaha menyergapnya, tapi berulang kali Alexander menepuk-nepuk wajah Joana agar Joana bisa terus sadar.

"Alex ... sakit ..."

Alexander kemudian mengangkat tubuh itu. Alexander hanya bisa berpikir bahwa dia harus segera membawa Joana pergi dari sini. Ia hanya harus berlari keluar dari hutan dengan jarak satu setengah kilometer kemudian segera membawa Joana pergi ke rumah sakit untuk menyelamatkan Joana.

"Ha ha ha. Kamu pikir, gadis itu akan selamat. Dia akan kehabisan darah sebelum kau membawanya ke rumah sakit."

Alexander tidak mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh Ryan. Ia kemudian membopong Joana dan lagi-lagi membuat Ryan marah.

Ryan melihat satu pisau yang tergeletak di atas tanah dekat dengannya. Satu pikiran terlintas di kepalanya. Tiba-tiba saja Ryan berubah pikiran.

Dengan cepat Ryan mengambil pisau itu dan berlari ke arah Alexander. Menancapkan pisau itu ke kedua bahu Alexander dengan cepat agar Alexander tidak mampu untuk menggendong Joana dengan kedua tangannya.

"Aaaa!!"

Alexander memekik keras, sementara itu Ryan tertawa. Melihat Alexander kemudian ambruk dan Joana semakin terlempar jatuh membuat Ryan semakin puas karena berhasil menyiksa mereka di ambang kematian.

Alexander semakin marah. Ryan tidak akan pernah berhenti membuatnya kesakitan seperti ini jika Alexander tidak menghabisinya terlebih dahulu. Alexander tahu kalau Ryan akan menunda waktunya agar Joana benar-benar kehabisan darah.

Alexander segera berbalik. Ia mengabaikan luka tusukan itu kemudian menyerang Ryan dengan membabi buta. Darah keluar dari luka tusukan di kedua bahu Alexander namun Alexander seperti tidak merasakan apa-apa saat ia menghajar kepala Ryan.

Geraham bagian kiri Ryan retak dengan sekali pukulan namun Ryan masih bisa tertawa melihat Alexander yang semakin membuang-buang waktu. Mereka kemudian saling adu pukulan, bergulat satu sama lain hingga tidak sadar bahwa Joana di sana sudah semakin tidak kuat lagi untuk tetap terjaga.

Mata Joana mengerjap-erjap. Pandangannya semakin lama semakin kabur. Luka tembakan itu semakin terasa menyakitkan hingga kini menjalar di setiap inci tubuhnya dengan siksaan yang luar biasa.

"Alexander ..."

Hanya satu ucapan itu terucap sebelum akhirnya Joana benar-benar tidak bisa menjaga kesadarannya. Pandangannya yang mulai mengabur kini terlihat sangat gelap kemudian Joana pasrah hingga menutup mata.

Sementara itu, Alexander masih terlibat adu pukulan. Berulang kali Alexander memukul Ryan, namun Ryan juga tidak menyerah, ia menyerang balik Alexander dengan menghantam luka akibat tusukan itu hingga Alexander memekik kesakitan.

Alexander kalah tenaga ketika kedua bahunya sudah terluka akibat luka tusukan, dan ketika Alexander lengah, Ryan mempunyai kesempatan untuk membebaskan diri. Ia segera mengambil pisau yang tadi ia gunakan untuk menusuk Alexander dan kini malah kembali menusuk punggung Alexander sampai ketiga kali.

Alexander ambruk. Jatuh tersungkur ke atas tanah dengan kondisi yang sama-sama bersimbah darah. Air mata itu turun ketika melihat mata Joana sudah terpejam di sana. Alexander tertatih-tatih, dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Alexander merangkak mendekat ke arah Joana dan menggenggam tangannya.

"Joana ... Joana ..."

Alexander kembali menangis. Suatu hal yang sangat ia sesalkan adalah, karena di sini ia tidak berhasil menepati janjinya sendiri untuk menyelamatkan Joana.

"Ha ha ha. Aku seperti sedang melihat drama."

Ryan yang babak belur kini berusaha bangkit dan berdiri. Ia bertepuk tangan karena melihat keduanya sedang sekarat seperti itu.

Alexander menggenggam erat tangan Joana. Masih berusaha keras untuk bangkit tapi ia disadarkan fakta bahwa kedua bahunya sudah mati rasa akibat luka tusukan itu yang membuatnya kembali limbung.

"Kenapa kau masih nekat juga? Percaya lah, sebentar lagi kalian akan mati. Ha ha ha."

Darah yang mengalir dari keduanya kini bersatu di atas tanah. Mata Alexander kini perlahan-lahan juga mulai meredup. Bayangan yang awalnya terang kini mulai gelap disertai dengan napas Alexander yang juga ikut terputus.

Alexander meraih tangan Joana. Menggenggamnya erat di sisa-sisa kesadarannya kemudian menyium tangan itu.

"Aku mencintaimu, Jo. Maaf karena pada akhirnya kita berakhir seperti ini."

Hingga sampai pada akhirnya Alexander jug ikut terpejam. Tangan yang tadi begitu erat menggenggam tangan Joana, kini mulai mengendur karena kegelapan berhasil mengalahkan Alexander.

"Ha ha ha." Kini terdengar tawa yang menggelegar. Ryan Arkana bersorak. Setelah sekian lama, hari ini ia berhasil membalaskan seluruh dendamnya.

***

ALEXANDER'S REBELLIOUS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang