Seven

40 5 0
                                    

"Glen."

"Gue gak mau maafin kalian kalau kalian semua masih natap gue dengan rasa kasihan!" ketus Glen memalingkan wajahnya.

"Glen, maaf. Kita semua gak bermaksud natap lo dengan raut kasihan, kita ... cuma kaget aja karena lo ngalamin hal yang di luar dugaan kita, kita kaget karena lo ngehadapin semua ini sendirian selama ini, kita ngerasa gak guna jadi sahabat lo. Itu aja, gak lebih!" terang Roky.

"Kalian berguna, sangat berguna dan jangan pernah katakan hal itu! Gue akui hal yang gue rasakan selama ini adalah kisah yang sangat pahit, yang gue minta hanya ... jangan bersikap karena rasa kasihan!"

"Okey, kita akan lakuin!"

"Glen, sekarang lo makan, ya? Lo harus minum obat ini biar cepet pulih," ucap Roky menyerahkan nampan berisi bubur yang diberikan oleh perawat beberapa saat lalu.

"Gue gak lapar!"

"Glen, ayolah ... makan, ya? Lo gak mau sembuh? Lo gak mau balapan sama kita-kita lagi?" bujuk Jay yang tetap dibalas gelengan kepala oleh Glen.

"Glen, makan, yuk ... lo gak kasian sama buburnya? Nanti dia nangis kalau gak dimakan sama lo."

Tatapan Glen mendatar, "Lo pikir gue anak kecil, Bal?"

Ikbal gelagapan, "Ng ... nggak gitu, Glen ... kan biar lo makan aja!"

Plak!

"Gak gitu juga, bego! Glen udah gede, bukan anak kecil lagi!" sarkas Jay setelah menggeplak kepala Ikbal.

Ceklek.

"Ya Allah, Den Glen! Aden kenapa bisa gini? Mana yang sakit, Den? Sini, kasih tau Bibi!" Seruan Bi Sari membuat Glen menatap binar ke arahnya tanpa disadari oleh ketiga sahabatnya, entah kenapa melihat kedatangan wanita paruh baya itu membuat semangat hidup Glen kembali bangkit.

"Bibi, Glen gak papa dan Bibi jangan khawatirkan keadaan Glen, Glen anak kuat kok!" Glen tersenyum tipis kala pelukan hangat nan nyaman yang dia dapatkan dari Bi Sari.

"Maaf, Bibi asisten rumah tangga keluarga besar George, ya?"

"Ah, iyyaa. Terima kasih, yaa ... Aden-Aden semua udah bawa Den Glen ke rumah sakit, kalau gak ada kalian ... Bibi gatau bagaimana keadaan Den Glen sekarang," tutur Bi Sari tersenyum lembut.

"Sama-sama, Bi. Sudah tugas kami membawa Glen sahabat kami ke rumah sakit saat dia lagi butuh pengobatan kaya gini, tapi Glen gak mau makan dari tadi, Bi. Kita gatau harus gimana lagi bujuk Glen buat makan," sahut Ikbal menyerahkan nampan berisi bubur pada Bi Sari.

"Owh, begitu. Yaudah, kalian sebaiknya ganti baju dulu atuh, biar Bibi yang jaga Den Glen di sini dan nanti kalian balik lagi setelah izin kepada orang tua kalian semua."

"E ... eum ... gak papa, Bi? Gak ngerepotin, nih?"

"Nggak, atuh. Kan Bibi emang ditugaskan buat jaga Den Glen, jadi kalian pulang aja dulu gak papa."

"Yaudah kalau gitu, Bi. Kita pulang dulu, ya? Glen, kita pulang dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Setelah kepergian Ikbal, Roky, dan Jay, Bi Sari menatap ke arah anak majikannya, wanita itu tersenyum layaknya seorang ibu yang tersenyum hangat kepada putranya.

"Teman-teman  Aden udah pulang, kalau mau nangis, nangis aja atuh. Sini, peluk Bibi lagi!"

Grep!

Mata Glen mulai berkaca-kaca dan cairan bening mulai menganak sungai di wajah tampan itu, pria itu mengeluarkan keluh-kesahnya di dalam pelukan hangat bi Sari. "Bi ... kenapa Glen gak mati aja? Kenapa Glen harus hidup kalau akhirnya Glen dibunuh secara perlahan sama papa kandung Glen sendiri, Bi? Kenapa?"

"Glen mau hidup bahagia ... Glen mau hidup tanpa adanya tekanan ... Glen mau hidup bebas ... dan Glen gak mau dapet siksaan dari papa lagi, Bi ... Glen gak mau ... Glen sakit, Bi ... kenapa papa bisa setega itu sama Glen, Bi? Kenapa? Apa salah Glen sama papa? Bibi tau sendiri, 'kan ... selama ini hidup Glen gimana?" Bi Sari mengangguk membenarkan ucapan pria rapuh di hadapannya dengan air mata yang turut mengalir di wajah keriputnya.

"Bibi tau selama ini papa gak pernah peduli sama Glen, papa selama ini cuma sibuk kerja, kerja, kerja, dan kerja saat wanita itu tidak di rumah dengan alasan arisan ibu-ibu, Glen hidup layaknya sosok yatim piatu selama ini, 'kan? Lalu, kenapa dia tega, Bi? Kenapa pria itu tega dan senang sekali menyerang dan menghancurkan hidup Glen? Apa Glen harus mati biar dia bisa bahagia dan bisa sadar?" raung Glen semakin menumpahkan isak tangisnya.

"Nggak, Aden gak boleh ngomong gitu lagi! Aden udah janji sama Bibi buat gak ngomong ngelantur kaya gitu lagi, kenapa sekarang ingkar janji? Aden mau dosa, heum?" Glen menggeleng pelan tanpa melepas pelukannya.

"Aden harus bisa yakin bahwa suatu saat nanti, ketegaran, kesabaran, dan kelapangan hati Aden akan membuahkan hasil maksimal berupa sadarnya tuan besar dari kesalahan fatalnya yang telah menyia-nyiakan putra hebat seperti Aden, heum?"

"Jangan biarkan masa lalu membuat kesabaran dan ketegaran hati Aden menyurut, ya? Aden gak lupa kalau setiap masalah pasti ada Jalan keluarnya, setiap kesulitan pasti ada kemudahan, setiap ujian pasti ada hikmahnya, dan Aden gak lupa sama semua yang Bibi ajarkan sama Aden selama ini, bukan?"

"Nggak, Glen gak lupa setiap hal yang Bibi ajarkan sama Glen selama ini."

"Bagus, jadi ... Aden tau apa yang harus Aden lakukan sekarang?"

"Gaboleh nyerah sama kehidupan seberapa rumit dan menyesakkannya masalah kita, itu yang harus Glen lakukan sekarang!" lirih Glen di akhir kalimatnya.

"Pinter! Jadi, Aden harus semangat dan tegar dengan berusaha untuk sembuh biar Aden bisa hadapi semuanya dengan baik, ya!"

"Siap, Bi!"

Itulah sisi lain dari sosok Glen Gevaro George yang tak kenal akan rasa kasih sayang dan cinta, sisi di mana dirinya bisa bersikap layaknya remaja penurut lagikan childish¹ hanya di hadapan Bi Sari seorang. Selebihnya, remaja itu akan menutup mata hati kuat-kuat untuk rasa kasih sayang dan cinta dari siapa pun terutama wanita asing yang hadir dalam kehidupannya.


















Next jangan?

1. Childish : sebuah sikap kekanakan

Bad Boy Secret (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang