JUAN MERASA hampa, daripada merasa terkejut pria itu justru tak merasakan apa-apa. Ada lubang yang menganga di hatinya, dia merasa kosong. Kejadian dimana Diani ditangkap polisi atas tuduhan pembunuhan istrinya seakan-akan sudah ditebak oleh Juan.
Dia merasa semua ini cepat atau lambat pasti akan terjadi, entah Juan hanya menutup mata ataukah ada hal yang lain. Pastinya Juan tak merasa terkejut sama sekali.
Pria itu justru terkejut karena tindakan Geiry yang berani melapor pada polisi.
Juan yang sedang merenung di ruang kerjanya, tersenyum kosong. Rupanya gadis itu sudah besar. Mungkin saja nanti, gadis itu bisa berdiri sendiri.
Juan meraup wajahnya kasar, "Avesya." Ia berdesis.
"Deisa, apa aku terlalu menutup mata?" gumamnya sendu.
Juan berdiri, mengotak-atik ponselnya lalu menghubungi seseorang.
"Cari tahu tentang Avesya," cetus Juan begitu saja. "Tanpa terkecuali." lanjutnya penuh penekanan.
"Baik, Tuan." Begitu mendengar jawaban yang ia inginkan, pria itu mematikan telepon begitu saja.
Juan menghela nafas dalam, "sialan."
Pria itu sadar, ketimbang mencari tahu dia lebih memilih terpuruk di dalam sebuah kesalahpahaman hingga semua masalah di depan mata berubah semakin rumit.
Juan berdiri lalu merapikan jasnya, dia harus pergi ke rumah ayahnya itu, ia yakin Dino lah yang telah membantu Avesya.
Pria itu berjalan menuruni undakan tangga dengan raut dingin apalagi saat melihat keberadaan Amera di tengah-tengah, Juan memilih abai melewatinya begitu saja seakan-akan memang tak berada di sana.
Reaksi Juan membuat mata Amera melebar, gadis itu menganga syok. "Pa-PAPA!" teriaknya sebelum Juan semakin jauh.
Juan menghentikan langkah, pria itu tak bergeming menunggu apa yang akan dikatakan anak haramnya.
"Pa," panggil Amera lagi. Dia berjalan turun mendekati Juan.
Gadis itu terisak kencang.
"Papa harus percaya aku, Mama enggak mungkin ngebunuh Tante Deisa!" seru Amera mencekal lengan Juan.
"Maksud kamu apa, Amera?" tanya Juan dingin, Amera semakin mengeraskan isakannya berharap pria itu iba.
"JELAS-JELAS AVESYA BUNUH IBUNYA SENDIRI, PA!"
Lelaki itu menyentak lengan Amera, dia berbalik dengan wajah marah dan langsung dihadiahi tatapan terkejut Amera.
"DIAM AMERA! JANGAN MENGUJI KESABARANKU!" bentak Juan.
Amera meraung keras, "HUAAAAAAAA PAPA BENTAK MERA, HUAAAAAAA!"
Rasanya kepala Juan ingin pecah, dia memijat pangkal hidungnya. Pria itu menghela nafas panjang lalu menangkup kedua pipi Amera, meminta gadis itu menatapnya.
"Sssttt, maafin Papa. Maaf Mera, kamu tenang dulu, ya?"
Isakan Amera memelan, dengan masih sesenggukan gadis itu mengangguk.
Juan membuang nafas lega, lalu menarik gadis itu ke pelukannya. "Papa belum tahu bukti apa yang membuat Diani masuk penjara, sekarang kamu tenang dulu, Amera. Papa akan berusaha membebaskan dia."
Di bawah Abyan, Ardanno begitupula Arbass yang hendak naik ke atas mendengar semuanya dengan amat jelas. Mereka merasa janggal dengan sikap Juan menghadapi situasi ini.
Apakah Juan memang tak memperdulikan kematian Deisa?
Apakah Ayah mereka tak pernah mencintai ibu mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT GIRL'S NOT ME
FantasyMereka tentu saja terkejut, atas perubahan dari seorang gadis berwatak dingin yang bahkan tetap diam saat semua orang menyudutkannya. Putri bungsu dari putra pertama keluarga Darwangsa yang dulu menatap mereka dingin, kini terang-terangan memandang...