SAAT JUAN menapakkan kaki di pekarangan Mension utama Darwangsa, dirinya merasa dejavu. Mengingat sekelebat pertumbuhan dia dan Jean, juga saat pertemuan pertamanya dengan Deisa. Pria itu membuang nafas kasar, memasuki rumah masa kecilnya dengan langkah yang terasa berat.
"Dimana Papa?" tanya Juan pada maid yang berjajar.
"Tuan besar di halaman belakang, Tuan Muda." Juan mendengkus, dirinya terus berjalan menuju halaman belakang mengacuhkan figura-figura yang dipajang di dinding. Pun figura berisi foto pernikahan Juan dan Deisa juga foto pernikahan Jean dan Diani.
Lucu sekali, dia dan Jean saling berbagi dalam segala hal. Bahkan istri.
Tiba di halaman belakang, Juan memerhatikan Dino yang memunggungi dirinya.
"Pa," panggil Juan lantang. "Papa, 'kan, yang membuat Diani dipenjara?"
Dino tetap sibuk pada kegiatannya menggunting tanaman membuat Juan membuang nafas kasar.
"Jawab aku, Pa!" sentak Juan.
Dino menoleh, pria tua itu terkekeh. Dia menggunting setangkai mawar yang sudah tak berduri. Berjalan menghampiri Juan lalu menepuk bahu putranya itu dengan tangan yang masih terbalut sarung tangan penuh tanah. Dino lanjut berjalan begitu saja.
Juan mendengkus kasar, menepuk-nepuk bahunya yang kotor lalu menyusul langkah Dino.
Dia mengikuti Dino hingga ke kamar mandi, Juan bersedekap dada di ambang pintu, memperhatikan ayahnya yang membasuh lengan dengan lambat.
Dino menoleh, lagi-lagi terkekeh. Sifat Juan yang satu ini tak pernah berubah, dia akan terus maju sampai mendapat apa yang dia inginkan.
"Putraku," kata Dino pelan.
"Bodohnya kau." Pria tua itu terkekeh mengabaikan raut keruh sang putra.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Kembali menyakiti cucu asliku?" Saat Dino berucap demikian, dia berjalan melewati Juan yang terpaku di ambang pintu.
"Uang, kekuasaan dan rasa cinta seorang Ayah pada putrinya ternyata telah kalah hanya karena kebodohanmu," ujar Dino.
"Jadi selama ini Papa tahu kalau Avesya putri kandungku?" sentak Juan.
Diano berhenti melangkah membuat Juan menatap tajam punggung Ayahnya.
"Bukannya kau juga tahu, Nak?" Dino terkekeh pelan lalu berlenggang pergi menyisakan Juan yang terdiam lama.
"Apa, Pa?" Juan bergumam linglung, "maksud Papa aku tahu kalau gadis itu anak kandungku?"
Juan tertawa hambar, pria itu menggeleng cepat. Meraup wajah dengan kasar, Juan terbahak seperti tak waras. Dia mengambil ponselnya dengan terburu, menelpon seseorang yang ia rasa berhubungan dengan semuanya.
Rahang Juan mengeras, pria itu berdecak tak sabar saat telponnya tak dijawab juga. Juan tertawa dengan nada rendah saat suara operator memenuhi gendang telinga, mematikan telepon tersebut lalu Juan memilih menghubungi orang terpercayanya.
"Cari keberadaan James, aku harus bertemu dengannya sekarang. Tak peduli kau menculik dia sekalipun."
Dia mematikan telepon sepihak bahkan sebelum si lawan bicara menjawab.
Juan melirik jam tangan yang menunjukan pukul lima sore, waktu berjalan terasa lambat. Juan ingin segera mengetahui semuanya.
Pria itu berjalan tergesa, setengah berlari menyusul sang Ayah yang sudah menghilang dari pandangan. Raut wajah resah amat kentara, jika Juan bukan mengenakan kemeja hitam maka keringat di punggungnya mungkin akan terlihat jelas, sebab si kemeja mencetak jelas tubuh. Rupanya pria itu sejak tadi sudah berkeringat lantaran resah dan gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT GIRL'S NOT ME
FantasyMereka tentu saja terkejut, atas perubahan dari seorang gadis berwatak dingin yang bahkan tetap diam saat semua orang menyudutkannya. Putri bungsu dari putra pertama keluarga Darwangsa yang dulu menatap mereka dingin, kini terang-terangan memandang...