CHAPTER 33

2.6K 161 1
                                    

Jadi, disinilah keduanya sekarang. Duduk di atas karpet berbulu di balkon kamar Arbass, ditemani coklat panas dan camilan yang diminta dari pelayan. Arbass memangku gitar sementara Geiry melihat bintang dengan teropong.

"Lo suka langit, ya?" tanya Geiry tiba-tiba, Arbass yang sedang sibuk dengan gitarnya menoleh lalu tersenyum kecil.

Pemuda itu menganggukkan kepala, "iya."

Geiry terdiam lalu menjauh dari teropong ia menatap ke langit, tanpa teropong. Matanya membelalak, "Bintang jatuh!" seru gadis itu.

Arbass buru-buru saja menatap ke langit, matanya berbinar saat menatap bintang jatuh. Dia menutup mata dengan seulas senyuman di bibirnya, Geiry memperhatikan pemuda itu dalam diam.

"Lo lagi berdoa, ya?"

Arbass membuka mata, menatap Geiry dengan senyuman lembut. "Mungkin? Kakak cuma mau harapan kakak terwujud."

Geiry mendengkus pelan, "iya, berdoa."

Geiry membuka sebungkus snack. "Apa harapan lo?"

"Rahasia," jawab Arbass lalu tertawa kecil. Dia terdiam sebentar lalu berujar, "mau nyanyi, gak?"

Geiry menggelengkan kepala, "gue gak bisa nyanyi."

Arbass mengerutkan dahi lalu kembali tertawa kecil, "Kamu ini. Ternyata bisa bercanda juga."

Arbass memandang Geiry dengan geli, mana mungkin orang yang pernah juara dua lomba menyanyi ini tidak bisa menyanyi.

Geiry mendelik, "terserah, gue gak mau nyanyi."

Arbass menghela nafas, "Ya udah."

Setelahnya mereka berdua sama-sama terdiam lalu Arbass tiba-tiba saja menceletuk.

"Sejak kapan?"

Geiry yang sedang mengunyah menatap pada Kakaknya itu, "apanya?" tanya Geiry.

"Sejak kapan kamu tau semuanya?"

Geiry terdiam sejenak mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Dia menarik nafas lalu menghembuskannya, menatap bulan purnama yang tampak indah.

Gadis itu tersenyum kecil, "entahlah." Tak mungkin ia mengatakan bahwa ia tahu karena membaca novel, kan?

"Lo percaya gak kalo gue bilang sebenernya Amera bukan anak Papa?"

Arbass terdiam tak menjawab.

Geiry melanjutkan, "lo cari tau aja sendiri, Amera bukan anak Papa, kok, dan gue bukan anak haram." Dia terkekeh.

Arbass mendekat lalu menarik gadis itu ke dalam pelukan, dia menyandarkan kepala Geiry ke dadanya. "Kakak tau kamu bukan anak haram, Esya. Kakak udah cari tau, maaf karena Kakak telat,"

"Maafin Abyan yang gak tau apa-apa, maafin Kak Ardan yang bersikap kayak gitu ke kamu. Mereka gak tau apa-apa."

"Mereka gak tau apa-apa, tapi mereka bisa nyari tau, kan?" Geiry tersenyum getir. "Mereka gak nyari tau penyebab Papa begitu benci ke gue karena mereka udah nyaman sama keadaan itu, kan? Mereka malah milih kehilangan adik kandung mereka dan jadiin orang lain sebagai pengganti gue."

Arbass menggeleng cepat, dia mengelus kepala gadis itu. "Kalo kamu mau nangis, nangis aja,"

Beberapa saat kemudian Arbass mendengar isakan kecil dari gadis di pelukannya, mata lelaki itu berkaca-kaca. Padahal ia tak masalah jika Geiry ingin meraung keras atau memukulnya. Nyatanya gadis itu masih menyembunyikan semua rasa sakitnya sendirian.

Sampai kapan, Esya? Sampai kapan kamu mau memendam semuanya sendirian, mulai sekarang kakak gak akan biarin kamu sendirian. Kakak di sini buat kamu, Esya. Arbass membatin.

THAT GIRL'S NOT ME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang