15. Reflections

3.7K 290 14
                                    

Dokter cantik itu keluar dari salah satu kamar, dia berniat mengambil obat yang tertinggal di mobil. Wanita itu memang terburu-buru pergi setelah mendapat panggilan dari keluarga Wiiliams.

Sebuah insiden terjadi yang menyebabkan sang tuan muda terpaksa harus mendapat pengobatan secepatnya. Sean telah mendapatkan beberapa jahitan di telapak tangannya, dan dia juga akan mendapat suntikan.

Untung saja Caleb cukup baik saat membawa Sean untuk segera ditangani. Pria itu juga memberikan pertolongan pertama. Jadi Sean tak terlalu kehilangan banyak darah.

"It's hurts." Desau pria itu.

Bayang-bayang itu masih teringat jelas dalam benak Sean. Saat lelaki itu dengan sengaja merangkul Alexa, dan mencondongkan kepala hingga semuanya terjadi. Sean ingin sekali melemparkan pukulan sekarang, memastikan bahwa paling tidak, satu memar menghiasi wajah yang telah berani-beraninya memperlakukan wanitanya demikian.

"Melissa akan selesai menangani tanganmu sebentar lagi, Sean." Komentar Caleb yang baru saja selesai menghubungi Eleanora. Sahabatnya itu masih belum fokus hingga menanggapi ucapannya sekenanya.

"Bukan tanganku. Aku tidak peduli dengan itu." Benar, rasa sakit fisik yang dia rasakan sekarang tidak ada bandingannya dengan rasa sakit lain yang dia rasakan di dalam sana. Seolah pecahan kaca tajam itu bukan menggores tangannya, melainkan menancap kuat di hatinya. Ya, pecahan kaca itu sepertinya salah sasaran. Nyatanya yang sakit sekarang bukan tangannya melainkan hatinya. Bukankah seharusnya tangannya lah yang terasa nyeri?

"They kissed, Cal." Ungkap Sean terdengar putus asa.

"He kissed her." Ulang pria itu lirih. Pandangnya kembali kosong.

"Oh man." Caleb mulai bersimpati.

"Aku gagal, man." Sean menunduk. "Lima tahun aku menunggu. Dan sekarang aku benar-benar kehilangan dia."

Setelah sekian kali Alexa menolak para lelaki yang berusaha mendekat. Sean juga berusaha keras menyingkirkan siapapun yang mendekati Alexa selama ini.

Namun kali ini tampaknya sedikit berbeda, wanita itu membuka pintunya lebar-lebar pada pria itu. Membiarkan pria lain masuk dan siap menggantikannya.

Apa yang bisa dia lakukan jika Alexa benar-benar sudah membuat keputusan itu?

Dia ingin bersikap egois. Tapi dia rasa dia telah terlalu jauh menyakiti Alexa jika sekali lagi bersikap egois.

Sean termenung, teringat dengan masa silam 5 tahun lalu. Sebuah keputusan terpayah yang pernah dia buat seumur hidupnya, dan hingga kini masih dia sesali setiap menit yang terjadi dalam pengambilan keputusan itu.

"Kau benar. Aku memang bodoh, Cal. Aku terlalu gegabah." Memang tidak ada gunanya menyesali masa lalu, namun hingga kini Sean masih belum bisa berpaling dari itu. Bagaimana bisa dia melupakan begitu saja orang yang dicintainya, ibu dari anak-anaknya, sekaligus perempuan hebat bernama Alexa. Dia bahkan mencintai setiap bagian dari wanita itu, bagian dimana dia sering berpikir berlebihan, kegelisahannya, sikapnya yang kadang cerewet dan mengatur. Dia menyukai semuanya, sisi baik hingga buruk Alexa.

Dia menyayangi Alexa melebihi yang orang - orang tahu, dia mencintai wanita itu meski orang-orang menganggap dia membenci Alexa setelah perceraian bodoh itu. Dan sekarang dia benar-benar takut, lima tahun dia berani menghadapi siapapun, semua pesaing bisnisnya, bahkan orang-orang yang berusaha mencelakainya, tapi ketakutan itu tidak sebanding dengan bayangan ia kehilangan Alexa yang sudah di depan mata. Perasaan takut dan khawatir ini kini kian bergolak dalam batinnya.

"Kenapa rasanya begitu sakit."
Sean bergumam. "Bahkan kehilangan cinta pertama tidak sesakit ini."

Dia ingat saat itu, saat cinta pertamanya tampak seperti tengah tertidur di dalam peti. Wajah Alyssa tersenyum saat itu, meski tubuhnya telah kaku. Saat melihatnya, perasaan yang dominan dia rasakan adalah rasa marah. Rasa marahnya pada sosok yang telah membuat Alyssa kehilangan nyawa seperti itu. Dia berkabung, tentu. Namun rasa pedihnya tidak sesakit sekarang.

Unsavory RedemptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang