10. Jealousy

5.1K 368 12
                                    

"Bolehkah aku kemari lagi untuk makan malam?" Ryan bicara sembari menunjukkan senyum kecil di bibirnya. Mata cokelat hangatnya masih menatap wajah cantik Alexa. Dia tidak sanggup untuk mengalihkan pandangan, terlebih sebelum dia harus berpisah dari hadapan wanita itu.

Alexa mengangguk sopan sembari memasang senyum simpul. Ia pikir makan malam hari ini telah berhasil. Ryan Anderson tampaknya cukup terkesan dengan menu yang ia pilih sebagai pilihan jamuan makan malam untuk acara besar nanti.

"Tentu saja, Tuan Anderson. Sebuah kehormatan anda bisa menikmati dan mencintai makanan kami." Ungkap Alexa ringan.

Baginya pelayanan yang baik adalah salah satu kunci bertahan di bisnis ini. Jadi tidak ada salahnya jika ia bersikap baik pada Ryan.

"Kurasa aku tidak hanya akan mencintai makanannya." Gumam Ryan lirih. Sebelum dia kembali menaikkan pandangan memandang Alexa percaya diri.

"Baiklah Ms. Wilson. Selamat bertemu lagi di meeting selanjutnya. Kita akan bertemu dengan beberapa tim di Royal Grand Hall."

Ryan mengulurkan tangan, memberikan jabat tangan terakhirnya pada Alexa sebelum benar-benar pergi.

"Gedung milik keluarga Williams?" Tanya Alexa sebelum Ryan sempat pergi dari pandangan.

"Tentu saja," ucap Ryan. Pria itu lantas masuk ke sisi kemudi dan mulai melajukan kuda besi miliknya.

****

Hari berlalu begitu saja. Semua terasa cepat ketika pikiran terpecah pada banyak hal. Tidak berbeda jauh dengan hari-hari Alexa.

Kesibukannya mengurus bisnis dan juga keluarga kecilnya membuat ia merasa waktu berlalu tanpa meninggalkan jejak.

Dua hari telah berlalu, dan kini hari Rabu telah datang. Itu artinya meeting terkait acara award yang diadakan di Royal Grand Hall akan dilaksanakan hari ini.

Kaki jenjang yang terbalut heels itu pun berjalan memasuki ballroom gedung tertua sekaligus termegah di kota itu. Ketukan sepatunya berhenti ketika sepasang matanya menangkap sosok lelaki tua yang begitu familiar.

Pria yang tengah berdiri di ujung aula  itu tersenyum dari jarak lima meter di hadapannya. Wajah tuanya tak banyak berubah, hanya saja rambutnya sedikit memutih jika dibandingkan lima tahun lalu.

"Alexa." Sapa lelaki paruh baya itu. Senyum lebar yang manis dan mata biru serupa samuderanya, mengingatkan Alexa pada mata berwarna serupa milik anak sulung lelaki tua itu.

"Tuan Williams." Balas Alexa mengangguk sopan.

Harold Williams langsung berjalan cepat ke arahnya. Sebelum dia mengulurkan tangan dan membawanya ke dalam rengkuhan. Layaknya seorang ayah yang merindukan putrinya, Harold Williams menyambut kedatangannya dengan pelukan kecil hangat.

"Kau masih boleh memanggilku Dad, Alexa. Meski telah berpisah dengan anakku, bukan berarti kau adalah orang asing. Kau masih aku anggap sebagai anakku, kau bagian dari keluarga ini."

Alexa hanya bisa tersenyum. Tak mampu mengiyakan atau menolak pernyataan itu. Ia memang masih menganggap Tuan Williams seperti sosok ayah. Bertahun-tahun berinteraksi dan berurusan dengan Tuan Williams, yang dulu juga sahabat dekat Papa, menjadikannya terbiasa menganggap sosok Tuan Williams sebagai ayah kedua.

Meski begitu, ia masih tidak yakin memanggil sosoknya sebagai ayah. Semua telah berbeda sekarang. Hubungan mereka tidak bisa dikatakan dekat seperti dulu. Kini semua terasa berjarak, dan ia pun juga merasakan kecanggungan ketika berinteraksi dengan anggota keluarga Williams.

Alexa membuang jauh-jauh pikirannya. Ia lantas melirik ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari sosok yang seharusnya ada di sana. Ia tahu urusan terkait gedung itu bukan lagi menjadi ranah urusan Williams senior. Semua gedung dan hotel kini berada dalam ranah anak perusahaan Williams group milik Sean. Jadi ia rasa pasti ada sesuatu yang melatar belakangi kehadiran Williams senior di sana.

Unsavory RedemptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang