25. Resonance

3.4K 244 16
                                    

Cahaya terang menyilaukan mengusik Alexa dari tidurnya. Mata abu-abu itu pun terbuka, mengerjap beberapa kali sebelum ia kembali menyipitkan mata mencoba menyesuaikan penglihatan dengan sorot cahaya matahari yang begitu terang.

Alexa pun bangkit, duduk dari tidurnya sebelum bergeser hingga berhenti di ujung tempat tidur. Ia lantas menggerakkan tubuhnya, persendian mengeluarkan bunyi gemeletuk kecil.

Semalam, ia memang kesulitan tidur. Matanya baru bisa terpejam saat jarum pendek jam telah menunjuk ke angka tiga. Pikirannya tidak membiarkannya untuk tidur. Otaknya yang berisik terus bergelut memikirkan untaian kata yang keluar dari mulut Sean semalam.

Layaknya rekaman diputar ulang, ia pun teringat dengan perkataan pria itu. Fakta mencengangkan yang hingga kini masih berusaha ia proses dalam kepalanya.

Sean tidak pernah berniat menceraikannya lima tahun lalu. Pria itu tidak benar-benar membencinya hingga ingin membuangnya dari kehidupan.

Dan yang fakta kedua yang Sean katakan adalah kabar kematian Alyssa kemungkinan besar disebabkan karena pembunuhan. Selama ini ia pikir kepergian sang kakak adalah salahnya dan keadaan penyakit sang kakak yang memburuk. Meskipun berulang kali menampik, namun Alexa seakan tidak bisa lupa dengan fakta itu.

Alyssa tidak pantas untuk pergi dengan cara seperti itu. Alexa mengepalkan tangannya erat, ia marah dengan siapapun yang telah melakukan itu pada Alyssa, meski ia sendiri tidak tahu sedikitpun mengenai sosok itu.

Bagian paling buruk dari kabar yang Sean sampaikan adalah seseorang mungkin menjadikannya dan anak-anak target sekarang. Bukankah itu mimpi yang paling buruk.

Alexa membuang napas kasar. Sebelum bangkit dari tempat tidur. Ia lantas merapikan sedikit tempat tidur. Ia benar-benar terlambat bangun pagi ini. Ia harus segera bersiap-siap untuk acara hari ini, namun sebelumnya ia perlu lebih dulu membangunkan si kembar.

Ia telah telat membangunkan mereka. Karena itu, ia sedikit khawatir sekarang. Bagaimana jika mereka sudah bangun lalu berlari-larian atau membuat kekacauan di ruangan hotel.

Alexa melangkah cepat ke double bed si kembar. Biasanya dua anak itu sudah berlarian ke sana kemari jika terbangun dalam waktu yang sama, atau mereka berbaring di atas tempat tidur itu jika masih terlelap. Namun kini dua tempat tidur itu tampak kosong dan rapi.

Detak jantung Alexa seolah berhenti. Napasnya terasa mulai sulit, namun ia masih berusaha berpikir jernih.

Alexa berjalan cepat ke luar. Kali ini ia mengecek ruang lainnya namun juga tak kunjung menemukan si kembar.

Jantungnya semakin berpacu kencang. Pandangannya mulai berputar. Hingga keringat dingin menghiasi pelipis. Wajah Alexa memucat.

Dimana Chase dan Caden? Kemana ia harus mencari anak-anaknya itu?

Mata Alexa semakin memanas, rasanya ia ingin menangis karena kehilangan dua anak itu. Namun ia tidak punya waktu untuk larut dalam kepanikan, ia harus segera mencari Chase dan Caden. Tapi dimana kemungkinan dua anak itu berada?

Oh tunggu dulu... Sepertinya ia tahu.

Alexa segera berlari cepat ke luar. Tanpa mempedulikan penampilannya yang masih acak-acakan sehabis bangun, ia buru-buru menggedor pintu kamar Sean tak sabaran. Ia hanya perlu melihat tampang dua anak itu dan memastikan mereka baik-baik saja.

Pria berambut cokelat gelap nyaris hitam itu keluar dari balik pintu. Sean awalnya menyapanya dengan senyuman kecil namun saat melihat penampilannya yang kacau, senyuman di wajah Sean pun pudar.

Alexa pun melongok ke dalam, dilihatnya ruangan itu begitu kosong. Ia lantas menajamkan telinganya namun pendengarannya sama sekali tidak menangkap suara berisik si kembar dari dalam sana.

Unsavory RedemptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang