CHAPTER 32 - ALL IS FAIR IN LOVE AND WAR

28 8 6
                                    

MALAM itu, badai hebat menerpa Jakarta. Yadsendew yang sudah mengambil bentuk menyerupai roket bahkan sampai kesulitan menahan guncangan angin kencang dan hujan yang deras.

Di dalamnya, Xade berpegang kuat pada kursinya. Posisi duduk Xade dan Vahn horizontal menghadap atas lantaran Kapal Yadsendew masih dalam posisi meninggalkan planet. Keduanya terikat pada sabuk pengaman yang terpasang dari pundak hingga pinggang.

"Mengapa cuacanya tiba-tiba bisa parah begini?" tanya Xade sembari memperhatikan jendela depan. Tidak tampak bintang setitikpun. Yang ada hanya pekat dan butir-butir air yang tak henti menerpa.

"Tidak juga," sahut suara Yadsendew yang terdengar melalui sejumlah speaker. "Sedari di rumah Vahn tadi, petir memang sudah menyambar-nyambar. Tapi ini benar-benar parah. Lapisan awan kumulonimbus ini sangat tebal. Kita sudah terbang lebih dari empat puluh ribu kaki tapi aku masih belum melihat ujungnya."

"Berarti benar-benar ekstrem dong?" tanggap Xade. "Jakarta pasti akan banjir parah. Apa cuaca ini jadi masalah untukmu, Dew?"

"Tentu tidak," jawab Yadsendew. "Tenang, sebentar lagi juga kita akan meninggalkan Bumi."

Xade lalu melirik Vahn yang masih terisak di sebelahnya. Ia menepuk pundak anak itu. "Yang sabar, Vahn. Aku tahu ini berat. Tapi jangan menangis terlalu lama, oke? Karena sebentar lagi Yadsendew harus memasukkan pengetahuan umum dan kemampuan Bahasa Galaksi Higes ke kepalamu. Kamu butuh cukup energi karena kepalamu akan terasa sangat pusing. Bahkan kemungkinan kamu akan... um...." Xade berusaha mencari kata yang tidak terlalu meresahkan.

"Muntah?" Vahn menyelesaikan. "Pingsan?"

Xade mengangguk. "Bisa jadi keduanya. Syukurlah kalau kamu mengerti. Maka dari itu, tenangkan dirimu. Proses transfer pengetahuan akan menyita energi. Beritahu kami kalau kamu sudah siap."

"Baik, Xade," jawab Vahn. Ia pun menyeka dan memejamkan mata, kemudian menghela napas panjang. Vahn biarkan dirinya bersandar sejenak dan melupakan semua kejadian menyedihkan yang baru saja ia alami.

"Nah," kata Yadsendew. "Awan mulai menipis. Aku akan menambah kecepatan dan menembus atmosfer. Pegangan yang kuat semua!"

Dalam sekejap, turbulensi menguat. Xade dan Vahn mengencangkan genggaman mereka ke kursi. Vahn memejamkan mata, bersiap untuk guncangan yang akan semakin hebat.

Namun ternyata dalam sekejap pula, turbulensi itu berhenti. Kapal Yadsendew pun mengubah laju terbang menjadi vertikal ke depan.

Vahn lantas membuka mata. Ia terpana, namun bukan oleh pemandangan hamparan bintang di depannya. "Segitu doang? Di film-film Hollywood getaran di atmosfer bisa sampe beberapa menit lho."

"Kau kira aku sama seperti kapal-kapal di Bumi?" suara Yadsendew terdengar angkuh. "Senjata Yad dalam bentuk kapal sepertiku jauh lebih kuat dan jauh lebih cepat dibanding kapal ruang angkasa planet manapun!"

"Luar biasa!" ungkap Vahn takjub. Ia lalu menoleh ke belakang, dimana Bumi terlihat semakin jauh dari pandangan.

"Jangan dilihat lagi," kata Xade. "Kita sudah tidak punya waktu untuk membiarkanmu larut dalam kesedihan, Vahn. Mulai sekarang, pandangan fokus ke depan."

Vahn kembali tertib di duduknya. "Baik, Xade."

Akhirnya, Vahn mulai fokus. Kesedihan setelah meninggalkan rumah Bumi-nya berangsur reda. Vahn mulai terpana dengan suasana luar angkasa yang selama ini hanya ada dalam angan-angannya belaka.

Ia memperhatikan sekeliling, dan merasakan ketakjuban yang semakin menjadi lantaran membayangkan bagaimana robot sekecil Yadsendew bisa jadi sebesar ini. Namun interior di tempat Vahn berada jauh dari ekspektasinya ketika membayangkan sebuah kapal luar angkasa.

The UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang