SEKUJUR tubuh Vahn nyeri dan sakit ketika dirinya terbangun di Kamis pagi itu. Kepalanya pusing. Rasa pusing itu bertambah parah lantaran ketukan keras di pintu kamarnya tidak kunjung berhenti.
"Bayu!" panggil Mama untuk ke sekian kalinya. Nadanya tidak menyenangkan. "Bangun! Udah jam berapa ini? Kamu nggak sekolah!?"
"Iya, Maa! Bentar lagi aku turun."
Lucu, akhir-akhir ini Vahn justru merasa aneh tiap kali dipanggil dengan nama 'Bayu'. Padahal itu nama yang ia sandang selama delapan belas tahun. Kini, Vahn lebih merasa nyaman dipanggil dengan nama barunya. Nama yang baru ia dapat setelah segel kekuatannya dilepas minggu lalu. Seolah ia tahu jati dirinya sebagai seorang Sanivia sudah sejak lama.
Vahn pun bangkit, dan langsung meringis oleh rasa nyeri dan pegal di badannya. Latihan yang Xade beri kemarin benar-benar tanpa ampun. Di salah satu gunung tinggi di Antarktik, mereka berdua berlatih teknik berpedang menggunakan tongkat besi yang dibuatkan Yadsendew.
Sebagaimana berlatih beladiri sebelumnya, kali ini pun Xade langsung menerapkan latihan duel segera setelah mengajarkan dasar berpedang kepada Vahn. Xade mencoba mengeluarkan potensi Vahn dengan menyerangnya menggunakan kecepatan yang mula-mula masih bisa Vahn imbangi, hingga perlahan terus meningkat sampai akhirnya tubuh Vahn terkena pukulan tongkat beberapa kali dan terjatuh.
"Kau tahu apa yang terjadi andai ini medan perang sungguhan?" tanya Xade ketika Vahn masih terduduk sembari meringis meraba tubuhnya yang terkena hantaman tongkat Xade. "Mati, Vahn. Kamu sudah mati begitu pertama kali tongkatku menyentuh tubuhmu."
"Aku tahu, Xade," sahut Vahn lemas. "Aku tahu."
"Paling tidak, kamu benar akan satu hal. Kamu benar-benar bisa menyesuaikan diri di temperatur ekstrem ini." Xade tersenyum kecil. "Adaptasi tubuhmu meningkat. Berlatih di Sahara ternyata benar-benar merangsang kemampuan itu hingga ke tahap yang mengesankan. Kurasa kamu sudah bisa hidup di Sanivia, Vahn.
"Oke, ayo bangun. Kita berlatih lagi."
Xade benar-benar mendesak Vahn hingga ke titik dimana Vahn mengeluarkan lubang hitam tanpa sadar. Dan sebagaimana yang sudah-sudah pula, Vahn masih belum bisa mengendalikan kekuatan mengerikan itu. Gunung es tempat mereka berpijak luluh lantak, pecah berkeping-keping oleh tarikan lubang hitam yang begitu dahsyat. Mau tak mau, lagi-lagi Xade harus membuat Vahn pingsan dan menyelamatkannya dari puing-puing gunung sebelum akhirnya kembali ke Jakarta.
Vahn memang sudah mendapatkan kembali kelebihan-kelebihan yang seharusnya ia miliki sebagai seorang Sanivia. Kekuatan super, mampu bertahan di segala macam suhu dan tekanan, mampu menembakkan energi dari dalam tubuh, dan tentu saja mampu melakukan hex dengan baik. Berkat latihan dari Xade yang luar biasa keras, akhirnya Vahn sudah semakin mahir menyesuaikan diri dengan hex 3 tahap akhir, dan seharusnya tidak butuh waktu terlalu lama baginya untuk mencapai hex 4 asalkan latihannya konsisten. Vahn juga sudah memahami dasar-dasar bela diri dan berpedang yang digunakan prajurit Sanivia.
Akan tetapi, masih ada satu masalah. Vahn masih belum mampu menguasai kekuatan yang sebenarnya paling Xade harapkan, lubang hitam. Kekuatan itu begitu destruktif dan tidak bisa dibiarkan terlalu lama sehingga Vahn tidak sempat mencari celah agar bisa mengendalikannya. Belum lagi suasana hati yang mendadak memburuk tiap kali lubang itu muncul. Sedih, marah, panik, semua berkumpul menjadi satu di dada Vahn dan membuat lubang itu kian membesar. Maka, jika tidak mau semuanya habis tersedot lubang hitam, Vahn harus dibuat pingsan agar lubang itu hilang.
"BAYU!" Mama sudah begitu murka hingga teriakannya dari bawah terdengar sampai ke kamar.
"Iya, iya, Ma! Vahn... um, Bayu turun sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Bilim KurguBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...