DARI kejauhan, Gon melihat sejumlah orang Vigard berusaha memanjati tebing. Namun seketika kemudian, orang-orang itu langsung jatuh lagi. Entah karena ada bebatuan yang mendadak berhamburan dari puncak, atau karena terbakar oleh kayu api yang berdatangan dari ujung puncak pula.
"Jangan khawatir, Gon!" Dren menenangkan. "Aku justru akan khawatir kalau orang-orang bisa menaiki tebing itu dengan mudah."
Keduanya pun berhenti di kaki tebing tujuan. Mereka terengah, setengah mati mengambil napas, terutama Gon.
"Ayo kita naik," ujar Dren seraya menyelipkan pegangan sabit ke belakang celananya. Ia kemudian lekas menggenggam bongkahan batu untuk memanjat.
"Sekarang?" tanya Gon yang masih kepayahan. Lelah dan khawatirnya semakin menjadi lantaran seseorang terjatuh lagi dari tebing berikut bebatuan-bebatuan besar dan mendarat di dekatnya. Orang malang itu tewas seketika dengan luka parah di kepala.
"Kita bisa menghindari itu, Gon!" bujuk Dren sembari terus memanjat. "Percaya padaku. Cepatlah, sebelum kerumunan kembali kemari!"
Segera setelahnya, ada pula orang Vigard lain yang terjatuh dengan luka bakar parah di dada dan kepalanya. Gon dapati pula sejumlah luka sayatan di tubuh orang yang sudah tidak bernyawa itu.
"Dren!" panggil Gon lagi. "Siapapun yang ingin kau temui di atas sana, kau yakin kehadiran kita dikehendaki?"
"Gon!" Dren mulai kesal. "Apa kau selalu sepengecut ini!?"
Gon mengerang kesal. Tanpa ada pilihan, ia pun memasukkan gagang sabitnya ke celana dan menyeret tubuhnya yang luar biasa lelah untuk bergerak dan mulai memanjat.
Baru beberapa meter Dren dan Gon memanjat, bebatuan besar berjatuhan lagi persis di atas mereka. Dren membuka tangan kanannya, dan dengan cepat memaksa tubuhnya mengeluarkan energi dari situ.
Bola energi besar pun keluar dari tangan Dren dan menghancurkan semua bebatuan itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Dren dan Gon hanya cukup menutup mata agar bisa selamat dari serpihan-serpihan tersebut.
"Jika ada benda jatuh lagi dari atas, Dren," ujar Gon muak, "aku akan benar-benar turun."
"Berhenti mengeluh, Gon," sahut Dren. Genggamannya terhadap batu perlahan melemah. Pandangannya pun mulai buram.
"Dren?" Gon bersuara lagi. "Tubuhmu gemetar. Kau tidak apa-apa?"
Sial, Dren! ia mengutuk dirinya dalam hati. Baru mengeluarkan energi segitu saja kau sudah lelah.
Dren melihat ke atas, dan tebing itu masih terlihat begitu tinggi.
Tak lama kemudian, sesuatu datang lagi dari atas sana.
* * *
USAI Lind menutup pertemuan, Kesatria Yad dan Fazl pun langsung beranjak dari duduk mereka dan siap melaksanakan misi sesuai yang disepakati dalam pertemuan. Mereka mulai bergegas. Xade dan Vahn pun demikian, namun....
"Xade, Vahn," Lind memanggil mereka.
Keduanya menoleh.
"Sebelum kalian berangkat, tidakkah kalian ingin ke Bungker Timur dulu?"
Vahn bingung. "Bungker Timur?"
"Bungker adalah tempat dimana rakyat sipil berlindung selama perang, Vahn. Konsepnya kurang-lebih sama seperti bungker-bungker yang dibuat orang-orang Bumi untuk mengantisipasi hari kiamat," jelas Xade. "Bungker-bungker tersebar di seluruh Sanivia khusus untuk rakyat sipil dan orang-orang penting. Nah, Bungker di area Timur adalah salah satu bungker yang difungsikan untuk mengobati prajurit-prajurit yang terluka. Kliniknya besar, dan peralatan medisnya lengkap di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Ciencia FicciónBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...