CHAPTER 31 - GOODBYE

16 5 3
                                    

TETESAN peluh Xade jatuh meninggalkan sejumlah titik di lantai. Mulai dari dahi sampai tubuh yang ia biarkan telanjang dada itu tak henti mengeluarkan butir-butir air yang sepertinya sudah lama tidak ia keluarkan. Otot-otot di sekujur tubuh Xade mengembang. Lengan dan dadanya semakin terasa nyeri. Lelah yang dialaminya pun kian tak tertahankan.

Namun Sang Kesatria Yad tetap melanjutkan push-up-nya yang entah sudah ke berapa kali. Usai melewati tiga ratusan, Xade kehilangan hitungannya. Ia terus melakukan beratus-ratus gerakan atas-bawah menggunakan telapak tangan dan jari kakinya tanpa mengitung lagi.

Syukurlah, batinnya sembari terus melakukan push-up. Ternyata tubuhku masih optimal meski sudah beberapa hari tidak latihan.

Xade akhirnya bangkit dan berdiri di kedua kakinya, kemudian lekas menghunjamkan tinjunya sekuat tenaga ke udara hingga menyebabkan retak di dinding kurang-lebih tiga meter dari tempatnya berdiri.

"Pelan-pelan!" tegur Yadsendew. "Kalau kau bergerak terlalu semangat, tempat ini bisa hancur."

Xade pun berhenti seraya menyeka keringat di dahinya. "Aku harus memastikan aku benar-benar siap untuk kembali ke sana, Dew."

Xade lalu menengok sekeliling tempat kumuh yang ia sebut kontrakan itu. Ia perhatikan satu demi satu komponennya. Dinding yang hanya sisa sedikit warna putihnya akibat cat terkelupas di beberapa bagian dan bernoda coklat akibat bekas bocor dari atap, plafon yang disarangi laba-laba dengan cepat meski sudah beberapa kali dibersihkan, dan lantai semen yang meninggalkan bentuk kotak-kotak bekas keramik dimana kecoa sesekali mondar-mondir.

"Akhirnya kita akan meninggalkan tempat ini," ujar Xade tersenyum.

"Mengapa kau terharu begitu?" ledek Yadsendew. "Di awal dulu, kau begitu membenci tempat ini."

Xade mengedikkan bahu. "Ternyata tinggal beberapa lama di suatu tempat bisa menciptakan ikatan antara kita dengan tempat itu. Tak peduli meski tempatnya seburuk ini."

"Kau telah terikat dengan semua yang ada di lokasi misimu," koreksi Yadsendew. "Kontrakan bobrok ini, SMA Swasta Pancasila, serta orang-orang di dalamnya. Prediksiku, kau akan butuh waktu lama agar bisa melupakan itu semua. Apalagi—"

"Friska," tandas Xade. "Jangan kau sebut nama itu lagi, Dew."

"Aku tadi mau bilang Bayu," Yadsendew berkelit. "Harus kuakui, perubahan yang kau buat terhadap anak itu benar-benar luar biasa, Xade. Dari anak nakal menjadi anak berprestasi."

Xade menggeleng. "Aku tidak melakukan apa-apa. Bayu memang sudah luar biasa dari sananya. Anak itu memiliki sejuta bakat. Aku yakin dia bisa memenangkan lomba Asia Tenggara itu."

"Ya, tapi dia akan selamanya 'tersesat' tanpa kehadiranmu."

Xade menunduk. "Sekolah itu akan jauh lebih baik tanpa kehadiranku."

"Kau masih menyalahkan dirimu sendiri atas kejadian yang menimpa Sabrina dan Mahmud?"

Tangan Xade mengepal. "Sedari awal, berbaur bersama orang-orang Bumi adalah ide yang buruk untuk misi ini."

"Sudahlah, Xade. Semua sudah terjadi," Yadsendew berupaya menenangkan. "Tidak ada gunanya merenungi itu semua. Lebih baik, sekarang juga kau istirahat agar besok pagi kita bisa meninggalkan planet ini dengan kondisi segar."

"Kalian akan meninggalkan planet ini malam ini juga."

Xade dan Yadsendew terperanjat melihat seorang pria keluar dari arah dapur. Penampilannya mencolok dengan setelan jas hitam dan dalaman putih. Rambut hitam berkilaunya disisir dengan begitu rapi. Gaya berjalan santai dengan kedua tangan di dalam saku celana membuat pria itu terlihat semakin menawan sekaligus mengintimidasi.

The UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang