GEGAP gempita sontak menyelimuti Gahand usai lubang hitam besar nan mencekam di langit sirna. Pekikan-pekikan serta euforia mulai terdengar.
"Tuan Dleir kembali!"
"Lubang Hitam akhirnya tiba!"
Prajurit-prajurit itu lantas berbondong-bondong mendekat dan mengerumuni Xade dan Vahn bagai kawanan semut.
"He-hei!" Vahn yang risi dan bingung mencoba menolak orang-orang yang mulai mengangkatnya.
"Vahn," panggil Xade yang mendapat perlakuan serupa, "nikmati saja."
Lalu kerumunan prajurit itu mengempaskan Xade dan Vahn ke udara seraya terus bersorak.
Apa aku mimpi? batin Vahn yang masih berusaha mencerna semuanya. Apa barusan aku benar-benar menggunakan Lubang Hitam dengan baik dan meluluhlantakkan satu tentara?
Sorak sorai perlahan mereda, Xade dan Vahn pun akhirnya diturunkan setelah beberapa kali diempas ke udara layaknya pemenang kejuaraan.
"Selamat datang kembali, Tuan Dleir," sambutan itu terdengar berkali-kali.
"Selamat datang di Sanivia, Lubang Hitam," begitupun sambutan untuk Vahn.
Sebentar kemudian, ada yang menarik Xade dari belakang. Dua orang. Satu berambut kuning, yang satu berambut hitam dan wajahnya rusak sebagian. Tarikan itu begitu kuat dan bersemangat hingga mereka bertiga terjatuh berguling-guling.
Alih-alih marah, Xade justru tertawa. Dua orang itu menoyor Xade, menyikut, serta memiting hingga Xade kesulitan bernapas. Namun Xade justru semringah. Prajurit-prajurit lain ikut terbahak bersama mereka.
Untuk pertama kalinya, Vahn melihat Xade begitu kekanakan. Sosok Pak Karno yang tegas dan berwibawa itu sama sekali tidak terlihat ketika Xade bersama orang-orang ini.
Mungkin ini adalah Xade Dleir yang sebenarnya. Vahn seraya tersenyum. Aku sampai lupa Soekarno Habibie Wahid hanyalah penyamaran.
Perhatian Vahn lalu teralih oleh empat robot kecil yang muncul menghampiri Yadsendew. Ada yang berwarna cokelat, hitam, merah, dan satu lagi berwarna perak. Layaknya menyambut teman yang sudah lama bepergian, robot-robot itu mengajak Yadsendew mengobrol dengan cara mereka. Senyum simpul terbentuk di bibir Vahn melihat para robot berinteraksi layaknya manusia.
Senjata-senjata mereka ada di sini, batin Vahn. Berarti para kesatria Yad seperti Xade juga ada di sini. Vahn melihat dua pria yang masih bergelut bersama Xade. Mereka pasti dua di antaranya. Mana dua lagi?
"Maafkan orang-orang ini, ya." Seseorang menyapa Vahn dari belakang lalu berdiri persis di sebelah kanannya sembari menyaksikan tingkah Xade dan teman-teman. "Mereka berdua memang selalu begitu kalau lagi senang. Terlebih Xade sudah pergi beberapa waktu."
Merinding adalah kesan pertama Vahn ketika beradu tatap dengan pria ini. Mungkin karena Vahn belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki rambut perak panjang yang tampak alami, serta kedua mata abu-abu yang terkesan dingin. Namun kontras dengan tatapan yang seperti menusuk itu, senyum yang diberikan pria itu adalah senyum hangat pertama yang Vahn dapatkan di Sanivia. Dan itu memberi Vahn ketenteraman yang seketika menghapus kesan dingin yang pertama ia rasakan.
Pria itu membuka dan mengulurkan tangan kanannya. "Larius Odabas, kesatria Yad," ia memperkenalkan diri dengan suara yang lembut.
Vahn lantas kikuk dan bingung harus bersikap bagaimana.
"Jangan khawatir," kata Larius tanpa menurunkan tangan. "Jabat tangan adalah bentuk bahasa yang universal. Berlaku di galaksi manapun kita pergi, tidak hanya di Bumi."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Science FictionBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...