SEMAKIN dekat ke pukul 2 siang, semakin Bayu mempertanyakan keputusannya untuk mendaftarkan diri. Ia mulai ragu akan kepantasan dirinya untuk membawa nama sekolah di Lomba Matematika-IPA se-Asia Tenggara bulan depan. Sudah sepuluh menit ia berdiri di depan pintu aula sekolah dengan niat awal ingin ikut seleksi perwakilan sekolah untuk ajang besar tersebut. Namun alih-alih masuk dan menemui panitia, Bayu justru hanya berdiri dan mondar-mandir tak keruan.
"Bay!"
Bayu menoleh, dan menemukan keempat temannya menghampiri.
"Ngapain lo pada di sini?" tanya Bayu heran. "Bukannya ini jamnya Bu Siska?"
"Lah, lo ngapain di sini bukannya masuk? Sakit perut?"
Bayu melirik ke dalam, kemudian ke bawah. Bibirnya terkatup erat. Kedua tangannya melipat dan telapak kaki kanannya menghentak-hentak ke lantai.
"You look extremely nervous, man. Bukannya lo udah belajar mati-matian untuk ini?"
Bayu menggeleng. "Nggak cukup," ungkapnya jujur. Ia menunjuk ke jendela aula dimana puluhan siswa sudah mulai duduk di kursi yang sudah disediakan. "Kalian liat nggak di dalam itu siapa aja? Mereka semua siswa-siswa terbaik sekolah ini, dan mereka memang layak duduk di sana. Sementara gue, gue nggak lebih dari sekadar pembuat onar dengan prestasi anjlok. Masuk ke sana cuma bakal bikin gue jadi bahan lelucon!"
"Eh, bencong! Sejak kapan lu jadi cupu begini?" hardik yang lain. "Bayu yang gue kenal dan ikuti selama ini bukan pengecut kayak @*#&$% sepertu elu!"
Bayu tersinggung. Dia selalu tahu teman yang berbadan paling besar ini kerap berkata kasar. Namun ini adalah pertama kali kata kasar itu dilayangkan untuknya. "Maksud lo apa!?" Bayu maju.
Teman yang lain melerai. "Udah, udah. Jangan berantem di sini. Dosa, tau!"
"Lu orang yang paling dekat dengan Pak Karno! Guru yang paling kita kagumi! Bahkan sekarang lu jadi orang yang lebih baik dan mulai dipandang guru berkat dia. Lu belajar semalam suntuk demi kompetisi ini juga karena dia yang nyemangatin. Kenapa sekarang malah jadi melempem begini!? Lu nggak mikirin perasaan Pak Karno?"
"He's right, Bay. Wicis, apa salahnya lu ikut aja? Gagal pun nggak jadi masalah, kan? Nggak pengaruh sama nilai atau apapun kok."
Yang lain mengangguk. "Nggak usah takut dicibir dari belakang sama peserta lain. Anggap mereka nggak ada."
"Nggak perlu berambisi untuk menang, Bay. Hadapi tes ini semampu lo."
"Dan bakal gue seret lu kayak #*$&#^@ kalo lu berani lari dari kompetisi ini. Nggak bakal gue biarkan lu kecewain Pak Karno."
Bayu heran. "Kenapa lu pada jadi sentimen begini sih? Perasaan dari kemarin nggak ada yang benar-benar ambil pusing soal gue mau ikut lomba ini."
"Karena kami nggak bisa lihat lo ragu, Bay. This isn't you, and we can't get away with it."
Semua setuju. "Kami kira lo udah yakin dan daftarkan diri dari tadi. Kami pengen nyemangatin lo dari sini."
"Dan kami nggak mau lihat Pak Karno kecewa. Dia yang beri lo tujuan, Bay. Dia beri kita lima @*&#^ ini tujuan! Tadi dia ajak kami bicara mengenai apa kegemaran dan cita-cita kami, dan Pak Karno memberi kami berempat motivasi untuk mencapai itu. Kami merasa dihargai, dan gue yakin lo pun begitu. Sebelumnya mana ada guru yang mau luangkan waktunya untuk bicara lama dengan kita."
"Kita berlima selamanya akan jadi sampah andai Pak Karno nggak datang ke sekolah ini. Dan yang terpenting, dia satu-satunya orang yang mengakui kita. Kami berempat, lebih tepatnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Science FictionBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...