KARNO berubah. Itu yang Friska rasakan sejak ia bertemu dengan pria itu pasca Serangan Teroris. Frekuensi mereka bertemu dan berbicara mulai berkurang. Bahkan ketika mengobrol pun, Karno terlihat seperti berusaha keras agar tetap fokus. Seolah ada masalah besar dan hal penting lain di pikirannya yang tidak bisa ia abaikan. Berbeda ketika pertama kali mereka bertemu dimana perhatian Karno hanya khusus untuk Friska seorang. Persetan dengan apapun yang terjadi di dunia, setidaknya begitulah yang dulu Friska rasakan ketika Karno sedang bersama dirinya.
"Ika."
Atas perubahan mendadak sikap Karno tersebut, barulah Friska sadari bahwa sesungguhnya ia tidak tahu apapun tentang orang yang mampu merebut hatinya dalam sekejap itu. Kedua orangtua Karno telah meninggal. Ia anak tunggal dan tidak memiliki kedekatan dengan kerabat-kerabatnya. Karno juga tidak memiliki teman dekat di Indonesia karena ia baru pulang dari Amerika. Teman-teman lamanya di Jakarta pun sudah tidak pernah ia hubungi lagi, dan ia tidak memiliki satu pun akun sosmed untuk berinteraksi secara luas dengan orang-orang.
"Ika...!"
Karno tidak memiliki siapapun dalam hidupnya. Atau bisa dibilang, tidak ada satu orang pun yang benar-benar tahu Karno orangnya seperti apa, atau bagaimana masa lalunya. Semua akses untuk mempelajari kehidupan seorang Soekarno Habibie Wahid nihil sama sekali sehingga sulit menebak apa yang sebenarnya ada di kepala orang itu.
Ia sosok yang misterius dan sudah penuh tanda tanya sejak awal, namun Friska tetap membiarkan dirinya jatuh ke pelukan pria itu. Dan yang paling tidak bisa Friska terima adalah: ia menikmatinya. Karno pintar, Karno tampan, dan Karno sangat bijaksana. Mungkin itu yang membuat Friska terlena.
"Friska Larasati!" Fauza akhirnya meninggikan suaranya.
Mata Friska terbelalak. Ia hanya bisa terperanjat dan bengong ketika pikirannya akhirnya kembali ke meja makan rumahnya setelah melayang kemana-mana. Hidangan-hidangan istimewa tersaji di sana. Spaghetti, pasta, lasagna, steak, kentang tumbuk. Semua mati-matian Friska siapkan seorang diri demi Karno yang berjanji akan mampir ke rumah untuk berkenalan dengan kedua kakaknya yang datang berkunjung dari Bandung.
"Kak Fauza dan Kak Febria mau kemari besok malam," Friska menyampaikan kabar tersebut ketika mereka makan siang bersama.
"Oh, ya?" tanggap Karno. "Mereka nggak takut datang ke Jakarta setelah Serangan Teroris?"
Friska mengedikkan bahu. "Mereka lebih takut aku kenapa-kenapa, mungkin. Padahal udah berulang kali kubilang aku baik-baik aja."
Karno tersenyum. "Mereka kakak-kakak yang baik," ujarnya sembari melanjutkan makan.
Friska mengamati beberapa lama, hingga akhirnya berkata, "That's it?"
Karno berhenti mengunyah. "What?"
Sebal, Friska menjatuhkan sendok dan garpu di tangannya hingga mengenai piring dan berdentang. Ia melipat tangan dan buang muka.
Karno yang langsung mengerti perubahan mood Friska pun lekas mengubah situasi. "Okay. I get it, Friska," katanya. "Aku pengen ketemu dengan kakak-kakak kamu, tapi mereka kan kemari khusus untuk kamu. Apa nggak apa-apa kalo aku datang?"
"Kenapa nggak?" Friska mendekat. "Setidaknya kehadiran kamu bisa buat mereka berhenti nanya ke aku 'kapan punya pasangan'."
Karno tertawa. "Oke. Aku akan datang kalo memang itu nggak jadi masalah."
"Serius?"
Karno mengangguk.
Namun kini, pertanyaan itu keluar lagi dari mulut Febria. "Sebenarnya si Karno ini serius nggak sih mau dateng? Udah mau jam 10 malam lho ini, Ka."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Fiksi IlmiahBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...