Ratna dua kali mengalami operasi caesar gara-gara jarak kelahiran dekat. Sementara itu, Sintia mengalami sekali saat melahirkan Yusna. Tidak hanya mereka, para ibu di luaran sana pasti pernah melahirkan secara caesar dan pastinya banyak menerima ungkapan menyakitkan dari orang luar. Harusnya Melisa tidak perlu kaget, kan? Tidak perlu kesal juga, kan?
Perang melawan hati memang sulit. Dari awal Melisa sudah memikirkan semuanya dan sudah tahu bagaimana cara menghadapi mulut-mulut mercon si paling sempurna. Akan tetapi, kenapa prakteknya jauh lebih sulit? Entah sampai kapan persaingan antara kelahiran normal dan caesar akan terus bergulir.
"Ya ... bener, sih, Mbak. Aku malas karena uang suamiku banyak. Dia bisa biayain operasi metode baru itu, lho. Bahkan, bisa bayar ruang rawat inap yang paling mahal. Coba kalau itu dialami sama Mbak pas lahiran Tiara, pasti nggak sesehat aku sekarang. Aku, nih, dua jam setelah operasi udah bisa IMD, enam jam setelah operasi udah bisa duduk, delapan jam setelah operasi udah bisa jalan. Mbak bisa nggak?"
"Tapi, kamu nggak sempurna karena nggak merasakan sakitnya mengeluarkan bayi. Kamu juga nggak bakal disayang lagi sama suami kayamu itu karena punya sayatan di perut. Ya, paling nanti suamimu selingkuh sama pramugari yang kulitnya masih mulus."
Melisa terbelalak. Apa katanya? Tidak merasakan sakit? Itu kontraksi berjam-jam dengan harapan bisa melahirkan normal apa namanya kalau bukan sakit? Terus, saat anestesi, saat bius habis tapi harus bisa bergerak, rasanya nggak karuan, lho!
Terus, apa lagi? Candra selingkuh karena istrinya punya luka bekas operasi? Sepertinya Mutia kebanyakan makan sinetron azab.
Melisa menghela napas. Tidak ada gunanya marah-marah di depan si paling sempurna. Selain membuang energi, dia tidak mau stress. "Nanti, deh, Mbak cobain di kelahiran kedua. Biar Mbak Mutia tahu rasanya dibedah perutnya."
Demi melampiaskan kekesalan yang bercokol di dalam dada, Melisa menyenggol bahu Mutia sebelum pergi. Alih-alih kembali berkumpul bersama keluarganya, dia memilih naik pelan-pelan ke kamar. Menurutnya, dia butuh waktu sendiri. Dengan sepi, Melisa bisa mengeluarkan sesak yang sejak tadi ditahannya.
Melisa berdiri di depan cermin besar, kemudian menyingkap dress dan menurunkan celana longgar. Tangannya meraba perut yang masih terdapat penutup luka. Sebuah sayatan memanjang dari bawah pusar sampai atas bikini, mengukir sebuah sejarah baru dalam hidup Melisa. Xania keluar dari sana. Tempat yang kata Mutia tadi bukan tempat yang sempurna.
Tiba-tiba saja bola matanya memanas, lalu berembun, dan setitik air jatuh membasahi permukaan tangannya. Melisa tidak ingin menangis, tetapi perasaan sulit diajak kerjasama. Mutia benar, dirinya bukan ibu yang sempurna. Dia tidak bisa mengantarkan Xania ke jalan yang seharusnya. Dia membiarkan ketubannya pecah lebih dulu sehingga bayinya harus dikeluarkan segera. Dia tidak berusaha keras.
Pintu terbuka lebar. Melisa segera menyeka air mata dan menurunkan bajunya, lalu membalikkan tubuhnya saat Candra melangkah mendekat.
"Kok, kamu ke kamar nggak bilang sama aku, Sayang? Kamu, kan, nggak boleh naik tangga sendirian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Little Captain! [END]
RomanceIbu Negara season 2. Disarankan membaca Ibu Negara terlebih dahulu. *** Hadirnya keluarga baru, ternyata cukup mengobati luka di hati Candra. Ditambah sebentar lagi dia menjadi orang tua. Candra masih terus berjuang mempersiapkan kedatangannya bers...