Sarina terus merenung di kamar. Melisa belum muncul lagi setelah pembahasan warisan itu. Hanya terdengar suara keran air dari arah dapur yang terdengar. Mungkin seseorang sedang memakai wastafel.
Sarina memandang kaki yang tertutup selimut. Dari perut sampai bawah, dirinya tidak merasakan apa-apa. Dunianya seketika jungkir balik. Semula Sarina sanggup pergi ke mana pun, sekarang hanya tergolek di kamar, menunggu orang lain membantunya. Teman-teman yang selalu Sarina kunjungi tidak pernah datang, bahkan bisa jadi mereka tidak tahu kalau Sarina sedang sakit. Satu per satu, semua yang pernah Sarina agungkan perlahan-lahan sirna.
Melisa. Perempuan yang sejak awal kemunculan membuat Sarina gaduh, justru sekarang paling depan menolongnya. Dulu, Sarina berpikir bisa menyingkirkan menantunya, ternyata justru dirinya yang tersingkirkan. Dulu, Sarina kira sendiri itu lebih baik, apalagi ketika Candra memilih pergi dari rumah, tetapi sepi selalu membelenggu dirinya.
Apa lagi yang mau Sarina cari? Semua yang ia kejar kini tidak ada yang tersisa. Musnah. Sarina tidak bisa melakukan apa pun saat ini. Hidupnya bergantung pada uluran tangan orang lain. Hanya malu yang Sarina rasakan saat ini. Duduk di kursi roda dengan kondisi tidak berdaya. Rasanya ingin menghilang dari muka bumi saja.
Dengan segala kemurahan hatinya, Melisa membantu, padahal kalau mau menantunya itu tidak usah peduli. Melisa tidak memilih itu. Bahkan, saat disinggung masalah warisan pun, perempuan itu tidak goyah. Sarina merasakan ketulusan dari seseorang yang dulu sering ia cabik perasaannya.
Apakah artinya Sarina masih memiliki nurani? Entahlah. Selama ini Sarina merasa apa yang dilakukannya selalu benar.
Pintu terbuka, Mbak Lala muncul setelahnya. Sarina memalingkan wajah dan justru bertemu dengan kaca di pintu lemari. Sarina pandangi pantulan tubuhnya di sana. Rambut putihnya diikat rapi oleh Melisa. Pakaiannya juga dalam kondisi baik.
"Ibu mau keluar?" tanya Mbak Lala.
Sarina menggeleng. "Keluar buat apa? Wong, cuma duduk di kursi roda."
"Ibu mau minum?"
"Saya baru saja minum."
"Kalau begitu, saya keluar--"
"Kamu di sini saja."
Mbak Lala mengangguk patuh. Dia lantas duduk di kursi.
Sarina memutar kepala. Kembali memandangi kedua kakinya. Terdengar helaan napas setelah itu. "Kamu lihat Melisa?"
"Mbak Melisa lagi di atas, Bu."
Setelah itu tidak ada balasan. Sarina terngiang dengan wajah cucunya. Dulu, Sarina menginginkan seorang cucu supaya ada yang meneruskan keturunan, juga bisa dipamerkan ke teman-temannya. Sarina tidak ada masalah dengan jenis kelamin. Mau perempuan atau laki-laki sama saja, yang penting tidak cacat. Lagi-lagi, Melisa kembali mewujudkan mimpinya. Menantunya menghadirkan seorang cucu perempuan yang cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Little Captain! [END]
RomanceIbu Negara season 2. Disarankan membaca Ibu Negara terlebih dahulu. *** Hadirnya keluarga baru, ternyata cukup mengobati luka di hati Candra. Ditambah sebentar lagi dia menjadi orang tua. Candra masih terus berjuang mempersiapkan kedatangannya bers...