Perbedaan yang sangat mencolok ketika mobil Candra memasuki area rumah Sintia. Begitu Melisa keluar dari mobil, Sintia, Yumna, dan Yusna langsung berebut ingin menggendong Xania. Kebetulan sekarang hari Minggu, kakak-beradik itu tidak masuk sekolah.
"Aku duluan!" Yumna-lah yang berhasil menggendong Xania. Anak itu diam saja. Mata bulatnya menatap wajah perempuan yang membopong tubuhnya.
Yang membuat Melisa tidak enak setiap berkunjung ke sini adalah kehadiran para pelayan. Setiap kali dirinya datang, mereka dengan sigap membawakan tas, ada yang membuat minum, ada yang mengantarkannya duduk di sofa. Jika selama ini Melisa melakukan apa-apa sendiri, di sini Melisa diperlakukan bak tamu kehormatan. Semua serba dilayani.
Beginilah kalau punya banyak keluarga. Harus mengikuti aturan serta kebiasaan mereka. Namun, Melisa tetap bahagia. Meski jauh dari orang tua kandung, di sini dia punya keluarga baru yang menyayanginya juga.
"Nanti kalau Xania udah bisa ngomong, panggil aku Kakak Yusna aja. Nanti kalau kamu udah gede, kita jalan-jalan bareng, ke salon bareng, oke?" kata Yusna seraya menciumi pipi Xania.
"Kamu lebih pantes dipanggil Bibi atau Tante Yusna, sih," sela Yumna.
Yusna melirik tajam ke arah kakaknya. "Iiih, nggak mau, ah. Ketuaan tau. Kakak aja yang dipanggil Bibi Yumna."
"Nggak mau." Yumna menjulurkan lidah. "Kamu aja sana."
"Ayo, Sayang, gantian sama mami." Sintia hendak mengambil Xania, tapi Yusna berhasil mencegahnya. Anak itu segera menjauh dari maminya.
"Sebentar, Mami. Aku belum ada lima menit, lho."
"Mami juga kangen, lho, sama Xania."
"Iya, tapi tunggu dulu, Mi. Aku belum selesai."
Namun, yang ingin menggendong Xania tambah satu orang. Siapa lagi kalau bukan Hutama. Laki-laki itu berhasil mengambil alih tubuh cucunya saat Yusna lengah, membuat anak bungsunya cemberut.
"Cucu kakek tambah gendut sekarang. Pipinya tumpah-tumpah." Hutama memandangi cucunya dengan perasaan haru. Dua puluh lima tahun dirinya kehilangan momen mengasuh anak lelakinya, sekarang dia tidak mau melewatkan masa pertumbuhan Xania. Hutama sudah tidak sabar menunggu Xania besar.
"Opa gitu, lho, Pi. Biar keren," protes Sintia. Yang benar saja dari awal dia sudah bilang panggilannya oma-opa, bukan kakek-nenek."
"Kakek juga keren, kok," balas Hutama, lalu mencium pipi Xania.
"Terserah Papi, deh." Sintia mengerucutkan bibirnya.
Saat Hutama menatap dan mengajaknya bercanda, Xania membalas dengan senyuman. Sang kakek jadi gemas. "Kamu makin keliatan mirip ayahnya."
"Emang iya, Pi?" tanya Yumna.
"Iya. Matanya, mulutnya, hidungnya, kamu bandingin sendiri, tuh. Kayaknya papi masih punya foto ayahnya Xania waktu masih seumuran Xania."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Little Captain! [END]
RomansaIbu Negara season 2. Disarankan membaca Ibu Negara terlebih dahulu. *** Hadirnya keluarga baru, ternyata cukup mengobati luka di hati Candra. Ditambah sebentar lagi dia menjadi orang tua. Candra masih terus berjuang mempersiapkan kedatangannya bers...