Semalaman Xania tertidur di pelukan ayahnya yang duduk di bed. Sesekali anak itu terbangun lalu terisak. Candra dan Melisa tidak sepenuhnya tidur nyenyak.
"Mamamam!"
"ibai ibai!"
Semenjak jadi ibu, bukan alarm ponsel lagi yang membangun Melisa dari tidurnya, melainkan celotehan Xania yang selalu terdengar setiap pagi. Itu ocehan pertama yang keluar di rumah sakit. Obat yang dimasukkan ke infus cukup memulihkan tenaga anak itu. Xania kembali jingkrak-jingkrak seperti biasa. Hanya saja Melisa sedikit ngeri karena tangan Xania masih tertancap infus, apalagi kadang-kadang Xania menarik selangnya.
"Xania udah nggak sakit lagi? Xania udah sembuh?"
Xania tersenyum lebar, memamerkan gusi yang mulai muncul warna putih di bagian depan. Anak ini benar-benar mau tumbuh gigi. Karena sering menggigit mainannya, ada bakteri yang masuk sehingga mengakibatkan muntah dan diare. Melisa merasa bersalah karena tidak menjaga kebersihan mainan anaknya. Apalagi beberapa kali Xania berinteraksi dengan Sarina. Untungnya setelah diperiksa, Xania tidak tertular meski gejalanya mirip.
"Aah!" Suara Xania melengking saat Candra bangkit dan beranjak ke toilet. Begitu punggung ayahnya tidak terlihat, Xania mulai merengek. Melisa segera mengangkat tubuh anaknya dengan hati-hati. Tentu dengan memperhatikan selang infus.
"Bentar, Nak. Ayah lagi kebelet pipis. Ditahan itu sakit. Sabar, ya. Xania sama mama dulu." Melisa mengusap pipi Xania yang basah. Tangis anak itu tidak akan berhenti sampai bapaknya muncul. Itu juga terjadi kemarin waktu Melisa juga meninggalkan Xania.
Xania memang sudah bisa mengenal wajah kedua orang tua serta anggota lain di rumahnya. Makanya Melisa merancang kunjungan ke Semarang supaya Xania juga mengenal keluarganya yang lain. Acara Tedak Siten nanti juga termasuk bagian dari stimulasi Xania mengenal banyak orang. Xania belajar bersosial dari sekarang.
Ketika selesai dari kamar mandi, Candra langsung menghampiri anaknya. Xania perlahan tenang.
"Tuh, kan, Ayah cuma sebentar," kata Melisa. "Sekarang Xania makan, ya. Biar cepet sembuh, biar cepet pulang."
Melisa kemudian mengambil nampan berisi mangkuk bubur nasi, serta satu buah apel.
"Buburnya emang nggak halus gini, ya, Sayang?" tanya Candra.
"Iya, kan, udah mau delapan bulan, udah mau tumbuh gigi juga, Xania udah boleh dikenali tekstur yang kasar. Nanti kalau udah umur sembilan atau sepuluh bulan gitu, udah boleh disamain sama menu makanan kita."
Mendengar itu, mata Candra berbinar. Lalu, ia mengecup singkat pipi Xania. "Jangan cepet gede, Nak."
Karena tidak mungkin untuk didudukkan di highchair, akhirnya Xania dipangku Candra, lalu Melisa yang menyuapi Xania. Anak itu tampak senang saat Melisa mulai memasukkan bubur ke mulutnya.
"Lagi? Xania makan yang banyak, ya, biar cepet sembuh." Melisa menyuapi Xania yang kedua. Candra membantunya dengan mengelap sisa bubur di sekitar mulut anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Little Captain! [END]
RomanceIbu Negara season 2. Disarankan membaca Ibu Negara terlebih dahulu. *** Hadirnya keluarga baru, ternyata cukup mengobati luka di hati Candra. Ditambah sebentar lagi dia menjadi orang tua. Candra masih terus berjuang mempersiapkan kedatangannya bers...