Hallo kawula muda,
Bagaimana kabar kalian hari ini?
Yuk, ramaikan cerita ini.
Enjoy(づ ̄ ³ ̄)づ
.
.
.
.
.
.
."Jadi peninggalan beliau beliau ini, di awetkan di sini Pak?"
"Iyaaa," Pak Siwon mengangguk sambil melihat etalase di depannya yang berisi peninggalan Jenderal Soeprapto. Pakaian beliau saat subuh kelam itu pun terpajang di sana.
Terlihat usang dan bekas darah masih ada.
Museum Paseban berisi diorama serta foto dokumentasi yang terutama terkait secara langsung atau berhubungan dengan peristiwa pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965.
"Bahkan darahnya masih keliatan," gumam Jessy pelan tapi masih bisa di dengar Pak Siwon yang berdiri di sampingnya.
"Apa yang Jessy rasakan melihat hal ini?" tanyanya sambil tersenyum
"Sedih Pak!" Jessy nampak muram, wajahnya murung. "Kayak, bayangin gimana jadi keluarganya, jadi anaknya, istrinya, ndak kebayang gimana rasanya."
Jika keduanya asyik melihat- lihat pakaian para Jenderal, Nimas asyik memotret semua sisi tempat ini. Gadis itu mengotak-atik kamera kesayangannya sampai akhirnya matanya terpaku akan sesuatu yang membuatnya tertarik.
Sebuah foto yang terpajang dengan seragam dinasnya. Tersenyum misterius.
Kapten Pierre Tendean.
Nimas menatap foto itu tanpa kedip hingga akhirnya mengangkat kamera dan memotretnya.
Entah kenapa aku kayak ngeliat beliau langsung. Nimas melihat hasil jepretannya. Foto sang kapten seakan melihat tepat kearahnya.
Nimas mengarahkan kamera pada etalase yang memperlihatkan benda peninggalan sang kapten. Ada sebuah raket, teropong dan tape musik kesukaannya. Beralih dari situ, Nimas mendekati etalase lagi yang menampilkan pakaian yang di pakai beliau saat pengangkatan jenazah dari sumur maut itu.
Jaket lusuh kecoklatan terlihat jelas dalam netra Nimas. Seingat buku yang dia baca, Kapten Pierre dibawa dari rumah Jenderal Nasution memakai jaket berwarna biru. Jika sampai berubah warna sedemikian rupa begini, berapa banyak darah yang mengaliri jaket itu?
Juga sebuah tali terpampang di sana. Tali yang mengikat tangan sang ajudan sampai dia di kubur dalam sumur sempit itu.
Wajah Nimas nampak sendu.
Air mata menggenang di pelupuk matanya kala netranya menangkap sebuah cincin yang tergantung di samping pakaian Kapten Pierre Tendean. Cincin yang melingkar di jari manis pahlawan itu kini berada di sana.
Cincin yang entah kenapa terasa begitu familiar untuk Nimas. Ada perasaan yang tak terlukiskan kala dia melihat cincin itu. Entah mengapa.
Sejarah menuliskan bahwa sebenarnya Pierre Tendean akan menikahi kekasihnya. Dan cincin itu adalah bukti dari janji yang dia ucap. Tapi kenyataannya, janji itu tidak pernah ditepati.
Bukan Pierre yang mengingkari, bukan. Tapi Tuhan yang nyatanya tidak menakdirkan keduanya bersama lewat kejadian berdarah itu.
Nimas tidak bisa membayangkan. Betapa sakitnya. Juga duka yang menghampiri keduanya. Untuk Pierre Tendean sendiri, juga kekasihnya.
"Sang patriot bangsa," Nimas menatap foto Pierre Tendean di sebuah pigura dalam etalase "Pierre Tendean. Sang bunga bangsa yang gugur."
Air mata jatuh membasahi pipinya. Entah ada apa dengan Nimas, perasaannya benar-benar kacau hanya dengan berdiri di depan etalase ini. Dadanya berdenyut pilu, gadis itu menangis.
Menangis dalam diam.
Tangannya perlahan terulur menyentuh etalase itu. Menyentuh kaca dingin itu, berharap rasa rindunya sedikit terobati.
Pandangannya seketika menggelap.
Nimas ambruk.
🥀
"Yer, mbok kamu itu kalo tidur ya pakai baju to. Masuk angin tenan to kamu. Wes di kandani ijek ngeyel!"
Sambil meringis, pemuda itu tidak menjawab membuat si penanya yang berada di belakang tubuhnya menggelengkan kepala.
Kerokan di pagi hari bukan ide bagus.
Tapi apa daya, beginilah keseharian keduanya.
"Makanya, kamu itu—"
"AAAAAAAAAAAA!!!!!!"
Demi mendengar teriakan dari halaman depan, keduanya bergegas keluar. Salah satunya menenteng sebuah kaos dan memakainya cepat. Malah temannya langsung membuang uang kerokan dan minyaknya lantas mengambil senjata.
Apakah ada penyusup? Atau penculik?
Keduanya berlari menghampiri seorang perempuan muda yang terlihat pucat. Sapunya terjatuh, dia menunjuk ke arah belakangnya dengan gemetar.
"Ada apa Alpiah?"
"Kenapa kamu berteriak?"
"D--Di sana ada orang, iya di sana!!"
Keduanya memiringkan kepala mencoba melihat di belakang perempuan itu.
Ada seseorang berbaring membelakangi mereka.
Dan topi putih yang tak jauh dari orang itu.
-----------------------------------------
Siapakah orang itu?
Saya menulis cerita ini benar benar imajinasi saya 😁🙏 saya tidak menyangkut pautkan dengan kekasih beliau, saya buat cerita ini pun menurut sudut pandang saya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]
Historical FictionNimas Perwira. Gadis yang duduk di masa akhir SMA dan amat menyukai sejarah. Bercita-cita menjadi seorang tentara. Gadis enerjik dan suka berdebat masalah kritis. Bagaimana jadinya jika dia terlempar ke masa lalu dan bertemu dengan pahlawan Revolus...