28. Dalam Diam.

1.5K 178 31
                                    

Yeuuuuu, Nimas hader mengisi waktu bersantai kalian( ͡°〓 ͡°)

Disini ada yang dari ujung timur Indonesia?

Antara WIB, WITA dan WIT dimana kah patokan waktu kalian?

Met baca muda-mudi tanah air (●'▽'●)ゝ

_______________________

29 September 1965.

Kasak-kusuk terdengar dari arah dapur. Suara talenan yang beradu dengan pisau terdengar.

Kepala Nimas tiba-tiba muncul di balik dinding mengagetkan Alpiah yang tengah mengaduk sayur diatas tungku.

"Ya Tuhan, Nimas!" Pekik perempuan itu sambil melotot. Sambil mengelus dada. Sementara Nimas cengar-cengir melihatnya.

Bu Nas yang tengah sibuk memotong cabai hanya geleng kepala. Menegur Nimas yang tertawa sampe bengek karena berhasil mengusili Alpiah.

"Nimas ini jahil sekali ya " Bu Nas tersenyum. "Sudah selesai berbelanja?"

Nimas tertawa sambil mengangkat kantung belanjaan nya. Memamerkan pada Bu Nas. "Udah dong! Nimas kan sekarang udah berani ke pasar sendiri. Udah gak perlu bantuan Bakpia lagi."

"Heleh, kamu tidak ingat ya Nimas? Pertama kali kamu mencoba ke pasar sendiri malah nyasar sampai ke rumah Jenderal Siswondo Parman!" Alpiah bisa julid juga ternyata.

"Ya ampun? Apakah itu benar?" Bu Nas lekas menoleh pada Nimas. Selang sedetik, dia tertawa. "Nduk?"

Sementara si gadis hanya menekuk wajahnya yang memerah.

Sial, malu banget pas Nimas ingat hal itu. Biasanya dia kan langganan becak sama Pak Mamat, nah hari itu entah mengapa Pak Mamat tidak mangkal di tempat biasa. Alhasil dia menaiki becak, dan begonya juga Nimas asal naik dan tidak menyebutkan alamat. Becak itu menuju rumah Jenderal Parman yang memang biasa dia mengantarkan pesanan.

"Loh? Pak, ini bukan rumah yang saya tuju!" Nimas mengerjapkan mata melihat rumah yang nampak asing di depan nya. Hei, ini bukan rumah Pak Nas tau!

Si bapak becak ikut turun. "Tapi kan biasanya ke sini Non. Kan memang rumahnya disini."

Nimas berdiri linglung. Bahkan ketika si bapak mengambil barang bawaan yang tertinggal di becak dan membawanya menuju teras rumah tersebut.

"Pak, terus saya pulang kemana ini?"

"Loh, bukannya nona ini anaknya Pak Parman?" Si bapak malah balik nanya. Dia pikir gadis ini adalah perempuan yang sama saat menaiki becaknya ke pasar tadi.

"Sembarangan!" Nimas
melotot. "Saya anaknya bapak Haidar tau! Sejak kapan bapak saya ganti nama heh?!"

"Loh bukan?" Pria itu malah panik sendiri. "Berarti Non masih di pasar? Ya gusti!"

"Berarti bapak salah angkut penumpang dong?"

"Ya si mbak juga yang tadi langsung naik. Mana ngeh saya?" Si bapak juga gak mau di salahkan ikut ngotot.

Bagus. Dua orang bentar lagi adu bacot.

"Pak Johan? Ada apa ini?" Seorang pria sepantaran dengan Pak Nas keluar dan menghampiri. Wajahnya amat tegas dengan tatapan mata setajam elang.

"Maaf Jenderal, saya salah bawa orang. Saya pikir ini Non." Pak Johan nampak takut. Haduh, karena baru pertama mengamati anak sang Jenderal ya bisa lupa toh. Wajar lah, manusia.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang