45. Pahlawan Revolusi.

1.1K 169 48
                                    

Hallo kawan, Nimas kembali setelah sekian lama.

Hari ini, tadi pagi, di tempat saya ada acara jalan sehat. Yah, sedikit ribet karena harus jadi panitia pelaksana. Ngurusin ini itu. Untung imbalannya nasi Padang, sogokan yang lumayan. ⁠◜⁠‿⁠◝⁠

Di tempat kalian, ada yang acaranya sama?

Sedikit capek, tapi saya sudah terlanjur bales komen di bab sebelumnya, mengatakan update malam ini. Jadi baiklah, saya kembali.

Semoga ada yang nyariin :v.

Haha, selamat membaca.

Jangan lupa vote, juga komen.
.
.
.
.

Mana? Katanya dia bisa melihatnya? Bohong!

Gadis itu berdiri di salah satu sudut aula ruangan megah ini. Peti-peti tertata dengan penerang lilin di kedua sisinya. Walaupun ruangan ini terang benderang, tapi lilin-lilin itu seakan bisa membuat suasana bertambah sakral. Sebuah keheningan yang menyakitkan.

Peti itu diatur berjejer mengisi ruangan ini. Di atas petinya diselimuti kain merah putih dengan sebuah bunga tertempel di sana. Tak lupa sebuah foto diletakkan di depannya, foto satu demi satu wajah para jenderal korban kudeta G30S/PKI.

Aula Markas Besar Angkatan Darat pagi ini begitu sepi. Sunyi.

Setelah penggalian selesai kemarin, jenazah dibawa ke RSPAD untuk diperiksa dokter dan dibuatkan laporan visum et repertum. Setelah itu pula, semua jenazah yang selesai dibersihkan kemudian satu persatu dimasukkan ke dalam peti jenazah. Tujuh jenazah ini lalu dibawa menuju Mabes AD dan disemayamkan di sini, aula.

Nimas melangkahkan kakinya melewati jejeran peti para jenazah itu. Sampai akhirnya berhenti di depan peti dengan sebuah foto seseorang yang dia kenal. Peti jenazah dari Pierre Tendean.

Gadis yang memakai selendang hitam menutup rambut sebahunya itu berdiri di sisi peti, dengan kepala tertunduk.

"Halo Mas Pierre," sapanya dengan suara gemetar. Tangannya menyentuh permukaan peti yang menyimpan seseorang yang ia cintai di dalamnya.

"Aku dateng ke sini. Aku dateng di depan peti jenazah kamu," gadis itu mengepalkan tangannya erat-erat. Menangis. "Aku dateng ke sini untuk menghadiri pemakaman kamu."

"Pahlawan saya, pahlawan bangsa ini. Sang patriot muda, Pierre Tendean."

Ruangan megah ini hanya ada Nimas. Seorang diri. Dia menyelinap, bahkan lebih dulu meninggalkan rombongan Pak Nas dan berada di sini. Menangis sesenggukan di depan peti mati Pierre Tendean.

"Maafin aku yang nggak bisa menyelamatkan kamu. Maafkan aku, Mas Pierre."

Lihatlah gadis itu. Dia terus menangis, terisak pilu. Tanpa seorang pun di sisinya. Dia menangisi pemuda itu, pemuda yang terbaring di dalam peti dengan keadaan tak bernyawa. Semua bagai kaset rusak berputar dalam ingatannya. Tentang dia yang terlempar ke masa ini, bertemu Pak Nas, bertemu Pierre, bertemu Ade dan tentang segalanya. Semua berlalu-lalang dalam memorinya membuat kepalanya sakit.

Nimas mengernyit, merasa pelipisnya berdenyut. Menatap sekitar yang mulai didatangi tentara dengan senjatanya. Mengambil sikap berjaga di depan peti setiap jenazah para jenderal. Juga keluarga dari tujuh pahlawan ini, memasuki aula dengan pakaian serba hitam. Mulai mendekati peti-peti itu.

"Ya Tuhan, Nimas!" Bu Nas yang pertama kali melihatnya langsung memeluk tubuhnya erat. Ah, keluarga Nasution sudah datang, juga rombongan Pak Nas yang ikut bergabung. Mendekat pada peti jenazah Pierre.

"Nduk, kamu.. kamu selamat?" istri Pak Nas itu tidak bisa tidak menangis haru. Menyeka pipi. Dia mengecek wajah Nimas, menangkup sisi wajahnya. "Ini kena apa? Dahi kamu lecet. Ini sudut mata kamu kenapa? Nimas, ya Allah, saya sangat takut. Saya takut kehilangan kamu nak!"

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang