26. Nimas, Can't We be Together?

1.7K 186 55
                                    

"Ini tentang aku, kamu dan Tuhan kita yang berbeda."
Sang Ajudan, 1965.

"Perbedaan antara kita bukan hanya tentang keyakinan, tapi juga tentang masa yang begitu terbentang."
Nimas Perwira.

_________________________


"Aku nggak mau janji."

"..mengapa?" Pierre tertegun.

Nimas perlahan melepas tautan tangan keduanya, kemudian mengalihkan pandang. "Janji kan harus di tepati. Aku nggak mau ingkar janji!"

Senyum di wajah londo pemuda itu memudar.

"Kamu tidak ingin menghabiskan waktu bersama saya? Lagi?"

"Aku takutnya waktu yang nggak mengizinkan, mas Pierre."

"...apa kamu ingin pergi Nimas? Pergi jauh?"

"Aku kan cuma mau pulang." Nimas membalikkan badan, enggan menatapnya.

"...kan saya sudah bilang, kamu baru bisa pulang saat saya juga pulang."

Nimas terdiam.

"Kita akan pulang bersama, Nimas."

🥀

Pierre meluruskan kakinya.

Pemuda itu duduk di tangga masjid, menunggu Nimas sholat Magrib. Sebenarnya sih bisa sholat di kediaman, tapi Pierre sendiri yang menyuruhnya bergegas sembahyang. Nimas sebagai anak baik dan anggun tentu saja menuruti.

Pierre termenung. Entah memikirkan apa.

Ada perasaan yang begitu asing kala dia melihat Nimas beribadah.

Dia sudah terbiasa melihat umat muslim sembahyang. Bahkan ketika teman-teman taruna-nya menunaikan kewajiban mereka, Pierre melihatnya dan dia respek. Tapi saat melihat Nimas beribadah, hatinya mencelos. Betapa berbedanya mereka terlihat begitu jelas.

"Mas? Tidak ikut sholat?"

Pierre menengadah, mendapati pria paruh baya yang memakai surban dan kitab suci tersenyum teduh pada nya.

"...tidak Pak. Saya Christian."

Si bapak mengangguk-angguk, "Oh begitu. Menunggu siapa? Kekasihnya ya?" pasalnya pria itu tahu di masjid ini hanya ada dia, pemuda di depannya dan seorang gadis bermukena tengah sembahyang. Maka dia beropini seperti itu.

Pierre mengerjapkan mata. Kekasih?

"Hubungan kalian rumit." si bapak tersenyum penuh arti. "Saya kagum karena Mas ini yang tetap keukeuh pada dia. Pada takdirnya. "

"Ya?" Pierre tak mengerti.

"Tidak apa, Mas." Pria paruh baya itu terkekeh sembari menepuk-nepuk pundak Pierre. "Saya duluan ya,"

Meninggalkan Pierre yang memandangnya dengan dahi mengernyit. Apa-apaan itu tadi?

Pemuda itu mengamati jalanan depan masjid yang tidak begitu ramai. Hanya ada satu dua yang lewat, mana sepanjang jalanan terdapat pohon besar ratusan tahun yang entah kenapa terkesan seram.

Jakarta saat maghrib.

"Mas Pierre,"

Si pemuda menolehkan kepala. Bertatap mata dengan Nimas yang mendekat, duduk di sampingnya.

"Maaf ya, nunggu agak lama." tutur sang gadis sungkan. Dia agak canggung pada ajudan Pak Nas itu.

"Tidak apa." Pierre tersenyum sekilas.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang