Halo sob, pakabar?
Tarik napas dulu,
Hembuskan abis subuh nanti
yaa😊🤝Hehe, pengen dapet nasi kotak🛐
Nyoh bosq, sugeng maos🙏
»»————><————««
30 September 1965.
Potret sang jenderal membius netra bulatnya. Memandang sang ayah begitu kagum.
Ade Irma berdiri menghadap foto sang ayah.
Gadis kecil itu mengenakan seragam Kowad, lengkap dengan topinya. Tangan nya yang kecil sibuk membenahkan kerah, juga topi. Biar keren, biar bergaya seperti ayahnya.
"Sudah seperti ayah?"
Alpiah yang sejak tadi mengikuti anak sang atasan tersenyum melihat Ade yang begitu lucu. "Sudah dong!"
Ade menunduk, menunjuk dada kanan lalu dada kirinya. "Ini sama. Ini juga sama." Dia mendongak. "Dasi juga."
"Iya Ade, semua sama."
"Tapi Ade tidak punya bintang-bintang seperti ayah." Si gadis kecil cemberut kemudian berlari menuju kamarnya. Alpiah mengikuti.
Ade asyik bercermin. Entah apa yang di lakukan anak itu, dia sibuk bergaya seperti yang di ajarkan Nimas. Narsis sekali.
"Wah, anak mama bukan maen." Bu Nas yang memasuki pintu kamar sambil membawa gantungan baju dinas sang suami yang sudah di setrika geleng kepala melihat putri bungsunya.
"Sudah," Alpiah tertawa melihatnya. Ade kok mau-mau aja di ajarin Nimas. Nggak tau aja dia sukanya nyesatin orang. "Cakep!"
"Tuh, nggak ada!" Ade cemberut lagi.
"Apanya yang nggak ada, Piah?" Bu Nas menoleh.
"Ade mau bintang di dada!"
Bu Nas tersenyum, "Oh. Mesti berjuang dulu baru boleh dapat bintang."
Alpiah berjongkok, merapikan rambut Ade. "Piah bisa buatkan besok, saat Ade lebih pintar berhitung."
"Janji ya!"
"Iya, Ade!"
🥀🥀🥀
Sore hari berjalan seperti biasa.
Sejak tanggal 28 September tak terhitung banyak tamu yang menyambangi rumah Pak Nas. Pierre-lah yang rajin menerima mereka. Bahkan Ade juga senang dengan kehadiran tamu-tamu itu.
Seperti saat ini.
Pierre berdiri, nampak bercakap ringan dengan seorang pria. Sementara Ade memainkan sepeda di belakangnya. Sesekali tersenyum saat tamu ayahnya itu menyapa dirinya.
"Oh begitu." Sang pemuda menganggukkan kepala. "Saya akan mengusahakan nya, jadi anda bisa kembali besok pagi."
Pria itu di ketahui bernama Victor Sihite. Wartawan senior surat harian 'Sinar Harapan' ia bermaksud meminta foto Pak Nas sebagai ilustrasi di salah satu artikel menyambut hari ulang tahun Angkatan Bersenjata.
Namun begitu sampai di kediaman sang jenderal, dia malah bertemu Pierre. Jadilah dia mengutarakan niatnya tersebut. Untung ajudan itu cepat tanggap akan membantunya.
Victor mengangguk. "Terimakasih banyak."
Pierre balas mengangguk. Melepas kepergian sang wartawan dengan tenang. Tak menyadari Ade mengayuh sepeda kecilnya dari belakang, mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]
Ficción históricaNimas Perwira. Gadis yang duduk di masa akhir SMA dan amat menyukai sejarah. Bercita-cita menjadi seorang tentara. Gadis enerjik dan suka berdebat masalah kritis. Bagaimana jadinya jika dia terlempar ke masa lalu dan bertemu dengan pahlawan Revolus...