38. Selamat Tinggal, Nimas.

2.5K 249 29
                                    

"Seharusnya kamu tahu Nimas, meski saya tidak berucap, meski saya tidak berada di hadapanmu, meski saya tidak akan pernah kembali lagi,
saya, Pierre Tendean,
malam ini, saat ini juga ingin pamit. Saya tahu ini cukup menyakitkan untuk kita berdua, izinkan saya mengucapkan, bahwa saya benar-benar mencintaimu untuk terakhir kalinya."

Sang Ajudan, Pierre Tendean.
1965.

♡♡♡

"Ya, dia adalah Nasution."

Sepotong kalimat terucap dari pemimpin Tjakrabirawa. Menambah suasana mencekam di waktu subuh ini.

Jahurup berdiri tegak, menatap tajam ke arah Pierre Tendean yang sekali lagi dipaksa berdiri oleh dua tentara.

Kenapa dia berucap begitu?

Pernah dengar pernyataan jika diam berarti iya? Maka itu jawabannya.

Meski dia ragu—tetap ragu lebih tepatnya—tapi itu diurus belakangan. Lebih baik dia bawa dulu orang yang diikat di pohon depan paviliun ajudan itu.

"Sampaikan informasi bahwa Nasution berhasil di tangkap."

Hanya dengan perintah itu, dua orang tentara bergegas bergerak. Memberitahu pasukan yang memburu sang jenderal di kediaman utama dan pemimpin operasi yang berjaga di gerbang masuk sana.

"Tak kusangka jenderal itu berada di paviliun ajudan." gumam Jahurup sambil menatap Pierre yang duduk terikat yang juga menatapnya.

Pemuda itu terlihat tenang. Tanpa rasa takut sedikitpun.

Bahkan jika nyawanya akan berakhir sebentar lagi,

Di Lubang Buaya.

🥀

Pierre tetap diam bahkan saat tentara itu dengan kasar mendudukkannya dibawah pohon yang menghadap langsung paviliun ajudan.

Hanya dari percakapan itu, dapat Pierre simpulkan.

Mereka hendak menangkap atasannya, Jenderal Nasution.

Pemuda itu diam-diam mengepalkan tangannya yang terikat. Entah ada dimana Pak Nas sekarang, Pierre berharap atasannya itu berhasil menyelamatkan diri. Adalah tugasnya di sini untuk mengalihkan perhatian pasukan penculik itu. Mengulur waktu sebanyak mungkin.

Pierre menatap paviliun ajudan.

Dalam kegelapan waktu subuh itu, matanya bertatapan dengan Hamdan yang mengintip dari balik jendela. Kawannya itu terlihat kacau. Pierre tahu betul. Pemuda londo ini menatapnya lekat, seolah memberi isyarat agar tidak melakukan tindakan apapun. Diam di tempat.

Juga... bertatap mata dengan Nimas.

Mata gadis itu, Pierre ingat jelas. Menampakan rasa takut yang luar biasa besar. Sesuatu yang jarang sekali terjadi selama dia mengenal Nimas. Gadis itu lebih sering terlihat percaya diri dengan tatapan mantap penuh tekad.

Tapi lihatlah saat ini.

Nimas menangis. Terus berontak dari pegangan Hamdan. Menggeleng kencang-kencang seolah tidak bisa menerima keputusan Pierre yang menyuruhnya tetap diam di sana. Menangis seolah dia tidak akan pernah melihat Pierre lagi.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang