41. Genting!

1.6K 198 46
                                    

Kali ini beneran ya sam (・ั⁠﹏⁠・ั⁠)

Meski sedikit terlambat, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon maaf lahir dan Batin.

Spill THR kalian sabi laaaa.

Ada yang mudik?

Selamat reading.

°
°
°


Jakarta, 1 Oktober 1965.

Pagi ini, suasana Ibukota nampak beda dari biasanya. Situasi dipenuhi ketegangan, ditandai dengan banyak tentara yang berjaga di setiap penjuru. Bahkan ada beberapa kendaraan militer berlalu-lalang.

Melangkah mantap sembari menggenggam tongkat komando, perlahan menaiki tangga Istana Merdeka.

Langkahnya perlahan terhenti saat menyadari situasi tempat ini yang terasa lain. Terasa ganjil. Banyak prajurit yang berjaga di setiap sudut, membawa senjata mesin, menatapnya buas.

Sama seperti di lapangan Monas tadi.

Pasukan tak dikenal.

Apalagi saat menyadari bahwa mereka bukanlah Tjakrabirawa-pasukan penjaga presiden. Entah siapa yang menempatkan mereka dalam jumlah sebanyak ini di istana.

Seseorang bergegas menghampirinya. Mengenakan baret merah, lantas memberi hormat. Dia adalah petugas piket istana dari resimen Tjakrabirawa. Kapten Sudibyo.

"Apakah Bapak Presiden berada di Istana?"

"Siap. Bapak Presiden belum tiba di Istana, Pak." jawabnya tegas. Meski begitu wajahnya nampak tegang menghadap Panglima Kodam (Pangdam) V Jaya, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah.

Sang jenderal mengernyit. Tidak ada? Biasanya jam setengah tujuh pagi saja Bung Karno sudah duduk-duduk di teras belakang Istana. Aneh. Lalu dimana presiden sekarang?

"Tapi Brigjend Soepardjo, Panglima Operasi Kalimantan Barat ada di sini, Pak."

Brigjend Soepardjo? Mengapa dia ada di sini? Bukankah seharusnya berada di Pontianak?

"Apakah Panglima akan menemui Brigjen Soepardjo?" tanya sang kapten.

"Tidak perlu." Umar Wirahadikusumah menjawab tegas. Karena dia tidak ada urusannya dengan orang itu. Melihat sekeliling, sepertinya anggota piket itu juga tidak tahu menahu dengan kehadiran pasukan yang menyantroni Istana tempatnya bertugas.

"Selalu siaga. Keadaan Ibukota sedang tidak baik sekarang, senjata siap sedia ditangan. Saya akan kembali."

"Siap, Jenderal!"

Selepas menerima hormat, Umar bergegas balik kanan. Meninggalkan tempat itu dan menuju kendaraan Jip miliknya.

"Bagaimana Jenderal, apakah benar, Bapak tidak ada di Istana? Apa yang kita lakukan sekarang?" Kapten Sulasdi, perwira piket Garnizun Ibukota yang mengawalnya sigap memegang kemudi.

"Kembali ke Markas."

"Siap laksanakan."

Mobil Jip itu melesat cepat di jalanan Jakarta, menuju markas Garnizun. Turun dari mobil, belum juga memasuki kantor, Umar dikejutkan kabar bahwa RRI (Radio Republik Indonesia) diduduki pasukan tak dikenal.

Tadi Istana, sekarang gedung telekomunikasi. Banyak tentara yang mengintai di setiap sudut, seperti berjaga atas segala sesuatu. Belum lagi kabar penculikan para petinggi Angkatan Darat. Juga Presiden tidak diketahui ada dimana.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang