46. Ade Irma & Gugur Bunga.

996 177 41
                                    

"Mbak Nimas, dimana Om Pierre?"

Ade Irma bertanya. Dia menyebut nama ajudan ayahnya lirih. Menanyakan Pierre bahkan setelah pemakaman itu.
.
.
.


Tangannya terangkat. Berusaha menghalau tetesan air hujan yang mengenai kepalanya rintik demi serintik. Juga dengan kakinya yang terus melangkah di antara banyaknya orang yang masih ikut menyaksikan pemakaman Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata ini.

Gadis dengan selendang hitam itu memandangi kerumunan dari tempat yang agak jauh. Tubuhnya bersandar pada sebuah pohon besar yang cukup rindang, cukup bisa membuatnya terlindungi dari bias hujan.

Tubuhnya perlahan merosot dan jatuh terduduk.

"Sampai kapan aku ada di sini?" suaranya terdengar parau. Tangannya bergerak menyeka pipinya yang basah oleh hujan dan air mata. "Sampai kapan?"

Nimas Perwira, dia lebih dulu mengundurkan diri dari acara pemakaman ini. Bahkan belum sepenuhnya selesai, tapi Nimas tidak peduli. Dia hanya ingin menjauh. Dia ingin mengurangi rasa sakit yang menghujam dadanya. Sesak.

Di sudut ini, nyaris tidak ada orang.

Tidak ada yang tahu jika dibalik pohon ini ada seorang gadis yang duduk di sana. Di sekelilingnya hanya ada pohon-pohon yang tertanam tak kalah besar nan rimbun. Suasana di sini sepi. Apalagi ditambah rinai hujan membuat atmosfer terasa sedikit sunyi. Dan.. menyeramkan.

"Apalagi sekarang Mas Pierre? Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Pierre telah dikuburkan. Tidak ada yang bisa Nimas lakukan. Dia merasa semua ini telah selesai. Telah usai.

Kudeta G30S/PKI gagal. Para pengkhianat bangsa itu tidak berhasil mengganti ideologi negara dengan paham komunis seperti yang mereka inginkan. Pancasila tetaplah menjadi satu, menjadi dasar negara yang tak akan runtuh. Tidak akan terganti meski pengkhianatan demi pengkhianatan menderu, ingin menghilangkannya menjadi sebuah abu.

Kudeta yang mereka rancang dengan sebaik mungkin kini kacau balau. Tak perlu dijelaskan lagi, tapi kita bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Target utama yang ingin dilenyapkan, Jenderal Nasution berhasil lolos. Juga tempat persembunyian mereka, dimana mereka membuang mayat para jenderal ke dalam sumur tua berhasil ditemukan berkat kesaksian dari Sukitman.

Operasi mereka luluh lantak.

Ini bahkan baru di Ibukota. Tapi kita akan melihat aksi-aksi serupa di daerah lain. Jelas sekali PKI menggerakkan massanya untuk melancarkan pergerakan di setiap tempat-tempat strategis pulau Jawa.

Dan kini pasukan Soeharto jelas akan mengejar pasukan pengkhianat bangsa itu ke manapun mereka pergi. Meski bukan sekarang, tapi itu akan terjadi secepatnya.

Nimas belajar banyak hal.

Di masa lalu ini. Tahun dimana tragedi mengerikan ini terjadi.

Dia tahu perasaan mereka yang kehilangan keluarganya. Kehilangan suami, juga ayahnya. Kehilangan sang anak, juga kehilangan adik dan kakaknya. Bahkan kehilangan kekasih yang ia cintai. Nimas belajar tentang perasaan seperti ini. Dia memahaminya.

Karena mungkin dia juga menjadi salah satu dari mereka,

Dia juga kehilangan sosok yang begitu ia kagumi.

Pierre Tendean.

Semua janji yang pemuda itu ucapkan berputar di ingatannya. Janji yang bahkan tidak akan pernah bisa ia tepati. Pierre bahkan dengan mudahnya berjanji, dia menjanjikan banyak hal, tanpa tahu bahwa janji itu hanyalah sebuah janji belaka. Lambat laun hanya akan menjadi bayangan semu dan menjadi kenangan yang menyakitkan.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang