Putar lagu di atas biar feel-nya lebih dapet.
Duka seorang ibu yang kehilangan anaknya.
•
•
•Maria Elizabeth berseru memanggil nama sang anak yang kini telah tiada. Tak kuasa menahan kesedihan itu. Hatinya hancur, apalagi saat memeluk peti mati Pierre Tendean.
•SELAMAT MEMBACA.
Semarang, 1 Oktober 1965.Kesibukan melanda rumah besar di Jalan Imam Bonjol itu. Satu dua sibuk membawa masakan yang siap disajikan menuju meja makan. Satu dua masih sibuk di dapur, sisanya sibuk menunggu.
Wanita paruh baya itu tersenyum melihat banyak hidangan yang tersedia di depannya. Wajahnya jelas bukan wajah Indonesia. Itu wajah khas Eropa. Wanita Belanda berdarah Perancis. Namanya Maria Elizabeth. Ibu dari Pierre Tendean.
"Mama, everything is ready!" Rooswidiati berseru dari arah dapur.
"Already?"
"Iya."
"Pierre dan suamimu sudah tiba, Roos?" seorang perempuan tinggi keluar dari pintu yang lain. Dengan rambut tersanggul rapi, dengan wajah londo yang cantik.
"Coba kamu lihat ke depan, Mitzi! Aku sibuk dengan adonan kue sus!"
"Jare wes rampung?!" dumel sang kakak kesal sendiri dengan jawaban adiknya. (Katanya sudah selesai?!)
"Nyenyenyenye."
"Sudah kalian." Maria Elizabeth berseru. "Jangan diladeni adikmu, Mitzi. Nanti bertengkar terus. Lebih baik kita ke depan, menunggu Pierre dan Jusuf."
"Semangat di dapur ya, babu ku!" Mitzi melenggang penuh keanggunan menggandeng sang ibu menuju ruang depan. Membuat Roos nyaris membanting adonan di tangannya.
Ibu dan anak itu menunggu dengan sabar. Duduk di bangku teras, mengharapkan kehadiran sang putra dan adik yang berjanji akan pulang hari ini.
Tapi bahkan saat sang ayah, AL. Tendean bergabung, Pierre dan Jusuf belum menunjukkan atensinya. Satu jam terlewati. Dua jam. Tiga jam.
"Waarom zijn ze nog niet gekomen? hoe laat is het?" Maria Elizabeth menghela napas gusar, mengeluh dalam bahasa Belanda. (Kenapa mereka belum datang juga? Ini sudah jam berapa?).
Mitzi pun tak kalah cemas.
Sampai akhirnya sosok yang ditunggu itu terlihat.
Dialah Jusuf, hanya dia yang pulang ke Semarang seorang diri.
Tanpa Pierre Tendean.
🥀
"Mas Pierre tidak ada di kediaman Pak Nas. Saya kemarin sore sempat bertemu, tapi paginya tidak ada."
"Tidak ada bagaimana?" AL Tendean mengernyit mendengar cerita Jusuf. "Apakah masih bertugas? Bukankah sejak sore sudah ada surat cuti kan?"
"Saya juga tidak begitu tahu, Ayah." Jusuf terdiam. "Tadi pagi saya pergi ke kediaman Jenderal Nasution, hanya saja Mas Pierre tidak ada di tempat. Bu Nas berkata jika Mas Pierre mengawal Pak Nas."
AL Tendean lagi-lagi mengernyitkan dahi. Sementara Mitzi dan Roos saling pandang.
"Juga," Jusuf meneguk ludah. "Tadi di kediaman Pak Nas banyak tentara yang berjaga. Saya tidak tahu ada kejadian apa, tapi yang pasti genting sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]
Ficción históricaNimas Perwira. Gadis yang duduk di masa akhir SMA dan amat menyukai sejarah. Bercita-cita menjadi seorang tentara. Gadis enerjik dan suka berdebat masalah kritis. Bagaimana jadinya jika dia terlempar ke masa lalu dan bertemu dengan pahlawan Revolus...