10. Tahun '65

2.3K 259 29
                                    

Halloo,

Jangan lupa pencet bintang yoo, maksa nih🧐🗡

Enjoy (づ ̄ ³ ̄)づ
.
.
.
.
.
.
.



Nimas memandang sekeliling.

Gadis berambut sebahu itu menenteng kantong belanja di tangan. Suasana ramai pasar membuatnya takjub.

Padahal mah, cuma di Tanah Abang.

Alpiah sesekali curi pandang,

Nimas ini, dia mengenakan pakaian saat pertama kali datang ke zaman ini. Jins hitam panjang, kaus putih dilapisi kemeja kotak-kotak tak di kancingkan. Kamera DSLR selalu tergantung dilehernya.

Dia terlihat seperti turis.

Walaupun wajah khas pribumi, tapi pakaiannya itu lho. Seperti anak kelas atas. Padahal cuma ke pasar, sampe bawa kamera pula? Batin Alpiah heran.

"Bakpia, ini masih belanja lagi kah?" Nimas mengernyit.

Psst, itu panggilan sayang Nimas buat Alpiah. Dan anehnya Alpiah mau-mau aja. Heran.

"Tidak. Kita langsung pulang." Alpiah yang juga membawa kantong belanja berisi sayuran memimpin jalan.

"Kita naik becak lagi?" Nimas mengikuti.

"Iya Nimas, memang mau naik apa lagi?" Alpiah tersenyum.

Pagi ini Bu Nas menyuruh Alpiah belanja bahan masak bersama Nimas. Sekalian aja biar Nimas tau suasana kota Jakarta.

"Oh begitu."

Keduanya menyetop becak dan segera menaikinya.

"Kok ndak bilang kita mau kemana? Yakin ndak salah nanti, Bakpia?"

Alpiah tertawa " Pak Mamat ini, dia sudah jadi langganan saya. Sudah lama pula. Jadi langsung cussssss."

Nimas tak memberi komentar.

Yasudahlah, pake becak juga nggak papa. Tapi ini pertama kali dia naik becak di zaman ini sih. Kalo di zamannya, becak udah jarang. Seringnya pada make gojek.

Nimas mengamati sekitar.

Jalanan kota Jakarta saat ini benar-benar asri. Maksudnya nggak berpolusi dan macet, suasananya juga adem.

Sampai Nimas menemukan sebuah bendera merah dengan lambang palu-arit di pinggir jalan.

Gusti.

Itu PKI.

Mereka melewati sebuah rumah kecil bergaya Belanda yang terlihat kumuh, tapi dengan bendera partai komunis memberitahu segalanya.

Entah kenapa Nimas berasa uji nyali.

Sampai seorang pria paruh baya keluar dari rumah itu dan membawa sebuah clurit. Matanya bertatapan dengan Nimas.

Deg. Nimas langsung mengalihkan pandangan kearah lain. Apalagi saat bapak-bapak itu terus melihat kearahnya.

"Mari Pak," Pak Mamat—kang becak malah menyapa orang itu yang dijawab ramah oleh si bapaknya.

Wes to Pak, gak usah sapa segala. Dia bawa clurit itu, mbok yo ngebut. Ntar di sabet lehernya tau rasa. Nimas ngedumel dalam hati.

"Bakpia, itu PKI!" bisik Nimas pada Alpiah.

"Iya Nimas, saya juga tahu." Alpiah balik berbisik. "Sudah, jangan liat terus. Bahaya."

"Iya woi, ngeriii!" balas
Nimas. "Pak! ayo pak, ngebut!"

"Iya neng, saya juga takut ini. Saya juga mau ngebut!" becak mulai melaju kencang.

KAPTEN, BAGAIMANA BISA AKU MELUPAKANMU? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang