Unitatem (1)

277 42 25
                                    

"Tahun baru besok jalan-jalan, yuk!" Ajak Sakata tiba-tiba.

Amatsuki mengangkat tangannya cepat dan menjawab, "Maaf, tahun ini aku udah janjian sama Kashi bakal mampir ke pusat penahanan remaja."

"Ueh~! Tahun baru macam apa itu?" Sakata bergidik ngeri. Pemuda merah itu beralih pada Mafu. "Mafu-kun gimana? Tahun baru besok kau kosong, kan?"

Mafu yang baru selesai merapihkan buku-buku sekolahnya terdiam sejenak. "Entahlah, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kupastikan dulu."

"Pastikan? Jadwal, kan, maksudnya?!" Tanya Sakata semangat.

Bangkit dari kursinya, Mafu menyampir tas sekolah di bahu. "Ah, bukan, kok. Hanya urusan sederhana saja."

"Eeh~" Sakata mengeloyor diatas mejanya. "Kalian gak seru, ah! Masa tahun baru gak main-main ke rumah teman!"

Melangkah meninggalkan kelas lebih dulu, Mafu melambaikan tangan pada teman-temannya yang masih berada di dalam kelas dan berjalan pergi. Setibanya di turunan tangga yang sepi, ia mengaktifkan sihir teleport dan tiba di atap sekolah. Menjatuhkan tas di dekat kaki, ia mengacungkan dua jarinya. Memunculkan sihir putih keperakan di ujung jari. Dengan ringan ia melukis sebuah simbol di udara, sebuah gabungan antara segitiga besar dan lingkaran di dalam segitiga itu. Setelah simbol terbentuk sempurna, Mafu melangkah maju dan melewati simbol sihir yang aktif itu. Tubuhnya yang semula terbalut seragam sekolah kini berubah menjadi satu set pakaian a la paladin yang terbungkus mantel putih panjang sebetis.

Membuka tutup telapak tangannya, Mafu memanggil tongkat sihirnya dan memutar tongkat itu beberapa saat. Kemudian ia mencoba menyalurkan mana ke dalam tongkat yang perlahan mulai bercahaya. Namun, sinar putih keperakan yang menyelimuti tongkat itu tiba-tiba redup sempurna. Bersamaan dengan si pemilik tongkat yang memegang dadanya dan kesulitan menarik napas.


Sihirku ... Benar-benar hampir habis. Pikirnya yakin sekarang.

Setelah pemurnian besar-besaran itu, ia benar-benar mengerahkan 50% mananya. Sebenarnya, ia sendiri tidak begitu peduli sihirnya habis selama ia berhasil melindungi orang-orang. Yang jadi masalah adalah tubuhnya yang semakin memucat. Warna putih kulitnya saat ini benar-benar sudah tidak wajar. Di banding menyebut warna kulitnya putih pucat, ini lebih seperti putih yang hampir transparan. Bagaimanapun, tubuh ini bukannya tubuh manusia. Ia yakin jika ia memakai sihir lagi dalam jumlah besar, sudah bisa di pastikan ia akan menjadi kunang-kunang. Langsung mati setelah menggunakan sinarnya.

"Umur panjangku benar-benar tidak ada gunanya kalau begini," Gumamnya khawatir.

Awalnya dia tidak terlalu mempermasalahkan efek dari berkurang drastisnya mana di tubuhnya. Toh, ia tetap bisa hidup dengan mana yang tersisa sampai setidaknya 100 tahun kedepan. Tapi melihat Soraru yang selalu gelisah saat melihatnya dan rajin membelikan obat penambah darah benar-benar membuat hatinya perih. Selain ia tidak bisa bilang obat itu sama sekali tidak berguna, ia juga tidak siap mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang dirinya. Lagipula dunia ini takkan bisa menerima hal tak masuk akal seperti penyihir yang terpental dari dunia lain. Inginnya ia juga membuat semacam formula untuk memodifikasi tubuhnya sedikit. Tapi sama saja, membuat formula juga menguras mana.

Kalau keadaan tubuhnya terus begini, bisa-bisa Soraru memaksanya untuk menerima transfusi darah yang makin tak ada gunanya.

Mengembalikan wujud ke seperti semula, Mafu berbalik dan mengambil tasnya. Untuk kemudian ia memusatkan pikiran untuk melihat keadaan apartemen. Di rasa tak ada orang di sepanjang koridor, Mafu mengaktifkan teleportasi dan tiba di depan pintu apartemen Soraru seketika. Memencet tombol password, ia mendorong pintu dan berseru, "Tadaima~"

Menutup rapat pintu, semilir aroma kare menyapa indera penciumannya. Nampaknya, Soraru sudah pulang lebih dulu dan juga belanja. Apa rapat guru selesai lebih cepat, ya?

Segera melepas sepatunya, Mafu melangkah masuk dan menatap dua orang yang duduk di sofa dengan TV menyala dan toples di tangan. Tidak merasa ada yang aneh, Mafu melipir ke kamarnya dan memutar tuas pintu.


... Sebentar?


Menoleh kembali kearah sofa, manik delimanya bertemu pandang dengan dua pasang manik obsidian yang tidak hanya terbelalak, tapi juga pucat pasi. Kedua pupil mereka bahkan tampak bergetar karena shock luar biasa.

"Ha- ha- ha- ha-," gagap seorang pria yang terlihat lebih tua. Pemuda di sampingnya juga melakoni hal yang sama. Menunjuk Mafu dengan mulut terbuka lebar.

Bergeser kearah dapur, Mafu menemukan seorang wanita bersurai hitam legam yang juga memasang wajah terkejut bukan main. Bahkan sosok berparas lembut itu sudah mematung di tempat.

Bagaimana ini?

Bagaimana Mafu harus menangani keadaan tak terduga ini?

Aku harus apa?! Aku harus ngomong, kan?! Tapi aku harus ngomong apa?!

Di tengah suasana yang tegang itu, suara dobrakan keras dari pintu mengagetkan semua orang yang ada di dalam sana. Atensi mereka kini berpindah kearah Soraru yang mengernyit kesal dan berjalan sambil mengatur napas yang naik turun tak beraturan. Melepas syal, jaket, dan sepatunya asal, ia melangkah masuk dan melempar pandangan ke orang-orang yang sebelumnya tak pernah ada di rumahnya.

"Kalau mau datang ...," Soraru menarik napas untuk kemudian melepaskan seluruh emosinya dalam satu geraman. "HARUSNYA KASIH KABAR TIGA HARI SEBELUMNYA!!"

Mafu di belakang berjengit kaget, secara otomatis melangkah mundur hingga punggungnya menempel di dinding.

Di sofa, pria yang jelas Mafu kenali sebagai mendiang Raja sebelumnya atau Ayahnya Soraru membalas sama kerasnya. "HEI, KAU ITU KALAU DI HUBUNGI SUSAH SEKALI, TAHU GAK?"

"LALU BALAS PESAN TIAP AWAL BULAN ITU APA?! BULAN LALU KALIAN BAHKAN TIDAK MEMBICARAKAN SOAL KUNJUNGAN KEMARI, KOK!!"

"INI, KAN, GARA-GARA KAMU BILANG SUDAH PUNYA PACAR TAPI GAK MAU DI BAWA KERUMAH! YA SUDAH, KITA SAJA YANG DATANG!!"

"AKU BUKANNYA GAK MAU BAWA KERUMAH, TAPI KONDISINYA SAAT INI MASIH KURANG SEHAT-"

"Terus, mana pacarmu?" Tanya wanita di dapur yang Mafu juga kenali dulu sebagai mendiang Ratu. Alias ibu Soraru. "Bukannya kau bilang kalian tinggal bersama? Lalu siapa anak itu?"


Mendengus sebal, Soraru berbalik dan menarik tangan Mafu untuk kemudian merangkul pundak pemuda itu erat. "Ini orangnya."


Tiga orang itu kembali tercengang di tempat di susul kemudian pekikan keras dan panjang. "EEEEEHHH???!!"


Di dalam pelukan Soraru, Mafu akhirnya berhasil memahami situasi. Bahwa saat ini, keluarga Soraru datang secara diam-diam ke apartemen kekasihnya itu karena ia yang tak mau membawa Mafu pergi ke kampung halamannya dengan alasan kondisi pucatnya saat ini.


Sepertinya tahun baru pertamanya akan sedikit ramai.


Menatap langit kelabu, pemuda berpakaian serba putih itu berdiri seorang diri di dekat palang jalan. kedua kakinya yang tanpa alas kaki memerah karena dingin salju yang sudah meninggi menutup tanah. tidak hanya kakinya yang kedinginan, ujung jari-jarinya pun sudah sempurna pucat. jika saja hela napas tidak mengepul keluar dari mulutnya, orang-orang yang lewat bisa salah sangka dan akan mengiranya sebagai boneka manekin yang sudah usang.

Meski hujan salju kian menit semakin lebat, pemuda itu masih berdiri dan menatap langit. sepasang maniknya yang kosong itu seolah sedang menunggu sesuatu. tak peduli seberapa lama ia berdiri, atau seberapa dingin suhu yang membekukan tubuhnya, ia tidak sedikitpun bergeser dari tempatnya. tetap berdiri dan mendongak, menatap langit yang menitikkan butir demi butir salju. dan sesekali bibir pucat itu bergerak dan mengucapkan satu kata.


Kuil.












TBC!!
YG KANGEN BOOK INI ANGKAT TANGAN!
(⁠つ⁠≧⁠▽⁠≦⁠)⁠つ

After the End  ||  SoraMafu [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang