27. Sertifikat

4.6K 200 0
                                    

"Bersama gadis penjual bunga itu, membuatmu lupa semua perkerjaanmu. " Dihadapan Syakha ada Rendra dan Renza.

Tatapan dingin dilayangkan Syakha pada Renza. "Tutup mulutmu. "

"Kenapa aku harus menutup mulut. Mulutku mengatakan hal sebenarnya. " Balas Renza seolah menantang Syakha.

"Jika mulutmu tidak berguna, biarkan aku menyobeknya saja. " Syakha duduk sambil menyenderkan tubuhnya di sofa ruang kerja Rendra. Ditangannya terapit rokok menyala. Asap mengepul disekitar tempat duduk Syakha. Tatapannya meneliti rentetan kata di kertas putih itu.

"Matikan rokokmu. Itu menggangguku! " Syakha berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Renza. Dia malah mengangkat kakinya untuk diletakkan di paha Renza.

"Kakimu Syakha. " Syakha langsung menurunkan kaki atas perintah Rendra. "Maaf, pah. "

"Bagaimana perkembangan tentang pembangunan cabang barumu? "

Syakha menggeleng lemas. "Kata orang suruhan Syakha, dia masih belum mau nyerahin sertifikat tanah. "

Renza tersenyum simpul. "Tau gak siapa orang yang punya sertifikat tanah itu? " Kening Syakha berkerut bingung. "Siapa? " Tanyanya penasaran.

"Sini abang bisikin. " Syakha mendekatkan telinga. Sungguh dirinya dibuat penasaran. Rendra menyaksikan tingkah putranya hanya mampu menggelengkan kepala.
"Ada-ada saja. "

Semakin mendekatkan telinganya pada bibir Renza. Saat pendengarannya menangkap apa yang dikatakan Renza. Matanya terbelalak. Hatinya membuncah senang.

"Serius!! " Syakha berucap antusias. Rokoknya yang masih setengah terlempar di lantai marmer dingin. "Iya, pemilik tanah itu memang bu Nindi. " Syakha senang bukan main. Pancaran matanya berbinar. Kali ini yang berbicara Rendra, papahnya jelas dia akan percaya.

"Tau kan harus apa? " Senyum misterius Syakha dan Renza membuat Rendra curiga. Pasalnya otak kedua putranya ini sedikit tergeser dari tempatnya. "Berbisnis yang sebenarnya. " Syakha tersenyum miring.

"Jangan aneh-aneh! " Peringat Rendra.

"Gak ada yang aneh-aneh papah! " Syakha dan Renza, keduanya berujar kompak.

••••

Dalam kamar bu Nindi menyimpan sertifikat tanah panti di laci lemari kayu usang. Pintunya tampak akan copot dari tempatnya.

Sebelum menutup pintu lemari itu. Bu Nindi menyempatkan diri berbicara pada foto hitam putih kecil berukuran lima kali empat yang tertempel di lemari.

"Mas, do'ain aku bisa pertahanin peninggalan kamu. "

Dalam foto itu, nampak seorang pria masih muda tengah tersenyum. Warna foto hitam putih menyimpulkan seberapa tua foto itu.

Rayano. Suami bu Nindi yang meninggal puluhan tahun lalu karena kecelakaan kereta. Saat itu almarhum akan pulang ke jakarta menemui bu Nindi yang hamil muda. Merantau ditempat orang, membuat pak Rayan tidak bisa menemui bu Nindi dalam waktu lama.

Kepulangan beliau membawa kabar duka membuat bu Nindi depresi. Hingga melupakan anak yang dikandungnya. Berbulan-bulan keadaannya semakin mengkhawatirkan. Tubuh bu Nindi semakin ringkih.

Tepat saat kandungnya berumur lima bulan. Itu menjadi alasan kedua yang membuat bu Nindi depresi. Keguguran.

Kehilangan anaknya. Hal paling berharga. Butuh waktu lama bagi bu Nindi memulihkan keadaannya. Hingga bu Nindi menemukan Keela dan berniat merawatnya.

"Buk, ada tamu di depan. " Panggilan itu menyadarkan bu Nindi dari lamunan. Ia menoleh pada Eza. "Siapa, Za? "

"Nggak tau. Badannya gede-gede. " Bu Nindi tahu apa tujuan mereka untuk datang. Dengan cepat bu Nindi keluar dari kamar menuju pintu rumah.

Benar saja. Mereka sering datang untuk menanyakan kapan ia akan menjual tanah tersebut. Cukup membosankan. Mengingat hanya itu pertanyaan yang selalu disampaikan.

"Kapan an- " Belum sempat melanjutkan ucapannya. Perkataan pria berbadan besar itu terhenti.

"Kapan anda akan menjual tanah ini? Lagi? Sampai kapan kalian akan menanyakan hal sama terus-menerus? " Potong bu Nindi cepat.

"Sampai anda menjualnya pada bos kami. " Keberanian bu Nindi tidak gentar menghadapi pria-pria besar ini. "Sudah saya sampaikan, saya tidak akan melepaskan tanah ini. "
Kalimat bu Nindi di akhir penuh dengan tekanan. Dia bukan orang yang bisa menahan marah terlalu lama.

"Bos kami, sudah menyiapkan tempat layak untuk kalian tinggali nantinya. " Pria berbadan besar yang membawa koper berisikan uang masih berusaha membujuk bu Nindi.

"Sudah saya katakan. Tidak artinya tidak! "

"Buk, ini ada apa? " Kedatangan Keela mengalihkan pandangan bu Nindi. Keela berjalan perlahan setelah memarkirkan sepedanya. "Nggak ada apa-apa. Kamu bersih-bersih dulu, gih. "

Melihat raut bu Nindi tidak tenang. Keela tidak percaya. "Kalian siapa? " Keela menatap bingung pria-pria itu, kemudian beralih menatap bu Nindi. "Mereka siapa? "

Salah satu pria berbadan paling tinggi maju. Menjawab pertanyaan Keela. "Kami datang untuk meminta Nyonya ini memberikan sertifikat tanah panti ini. "

Sontak mata Keela terbelalak. "Saya bilang tidak! CEPAT KALIAN PERGI!! "

Pria-pria itu pergi sambil menatap bu Nindi aneh. Kepergian mereka meninggalkan keheningan semata. Gemuruh langit menandakan sebentar lagi hujan akan turun. Rintik gerimis membasahi bumi.

"Buk, ayo masuk. "

Baik bu Nindi maupun Keela masuk kedalam. Hujan bertambah lebat. Kilatan petir memekak telinga.

Keela sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia berdiam menatap hujan lebat di luar. Petir petir saling bertautan menciptakan kilatan cahaya langit. Mungkinkah malam ini tidak ada cahaya remang-remang bintang dan rembulan?

_____________

See you🍷

MY DUDA: Your MONEY is MY MONEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang