"Maaf lama ..."
Adrian menoleh dan mendapati Nindhy yang entah kali ini tidak secuek biasanya. Wajahnya segar sepertinya baru selesai mandi. Harum wangi dari dirinya pun menguar yang seketika membuat Adrian sejenak menikmatinya dengan rakus.
"Halo, Dek?"
"Aku nggak suka dipanggil gitu sama orang lain," komen Nindhy. Memutuskan duduk di samping Adrian. Lalu menatap halaman depan rumah yang hijau.
"Terus maunya dipanggil apa? Sayang?" tanya taruna itu, jahil dan menggoda.
Kumat, benak Nindhy.
"Yang waktu itu aku mau nampar kamu tapi nggak jadi, bisa loh diganti sekarang juga." Nindhy menatap Adrian datar. Yang ditatap malah cengengesan. Taruna paling aneh yang pernah Nindhy kenal.
"Tahu nggak kenapa saya suka kaya gini?"
"Kaya gini apa?" Nindhy bertanya penasaran dengan pertanyaan tiba-tiba Adrian sebelumnya.
"Suka jahilin kamu, suka godain kamu pake kalimat-kalimat semacam gombalan gitu. Tahu nggak kenapa?"
Nindhy lantas menggeleng. "Aku nggak tahu dan aku juga lagi males buat mikir." Dia sejenak menatap bawah. Memperhatikan kakinya yang hanya memakai sandal selop putih dengan karakter kartun di atasnya. Sementara di sebelahnya, ada kaki yang terbalut pantofel hitam bersih dan mengkilap milik Adrian. "Jadi, kamu terus terang aja kasih tahu alasannya," lanjut Nindhy setelah lama terdiam.
"Lucu ya?"
"Apanya?"
Adrian menunjuk ke bawah dengan gerakan matanya. "Alas kaki kita."
Kita.
Kata kita membuat Nindhy menatap Adrian lekat. Ia benar-benar bingung sekarang. Dan tak mengerti apa mau hatinya. Sekejap dia merasakan kehangatan dengan sikap Adrian yang sekarang. Namun sebelum ini, ia kesal ketika mendengar panggilan 'Dek' yang dialamatkan padanya.
Nindhy menepis kemungkinan-kemungkinan yang berspekulasi liar dalam pikirannya. Ia tidak menyukai taruna. Dia tidak menyukai Adrian.
Tidak akan pernah.
"Oh iya, sampai lupa kan saya soal tadi. Jadi, Nindhy, kenapa saya suka jahilin kamu tuh karena kamu kalau lagi marah, lagi kesel itu buat saya lucu, gemesin banget. Dan itu buat saya senang gitu aja. Jadi kesimpulannya Nindhy, bahagia saya ternyata sederhana. Cukup lihatin kamu kalau lagi marah atau kesel aja."
"Dasar ngeselin!" sahut Nindhy. Mendorong pelan pundak Adrian sebagai luapan kekesalannya.
Adrian tertawa riang, "ngeselin tapi buat kamu senyum sampai pipinya merah, haha ..."
Someone tolong bantu Nindhy mengusir Adrian dari hadapannya sekarang juga! Semakin lama bersama Adrian, Nindhy takut mendadak didiagnosa hipertensi karena kelakuan Adrian yang selalu membuat dia marah.
"Sampai lupa kan tujuan saya ke sini. Saya mau ambil Chevron yang kebawa kamu."
"Ini ..." Nindhy menyerahkan dua Chevron yang sedari tadi digenggamnya.
Adrian menerima dan mengucapkan terimakasihnya. Ia memain-mainkan dua Chevron yang sekarang ada di tangannya. Lalu sebuah ide terlintas di benaknya. Segera saja dia menatap Nindhy.
"Mau pasangin chevron ini nggak?" Adrian harap-harap cemas setelahnya. Ia terlalu nekat untuk mendapat perhatian Nindhy.
Lihatlah Nindhy yang hanya diam belum bersuara. Menatap Adrian, chevron dan lengannya beberapa kali. Seakan meyakinkan diri bahwa saat ini Adrian tidak sedang kenapa-kenapa. Tangannya pasti masih berfungsi dengan baik. Dan meminta dia memasangkan chevron itu hanya akal-akalan modus taruna satu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still, San!
General Fiction" ... pacarnya ngambekan, mending sama saya aja, Dek. Taruna loh saya, ganteng, gagah ... kurang apalagi coba?" "Taruna? Iiyeuhh ... sorry nggak minat!" tandas gadis yang dikenal paling ilfeel sama taruna/tentara/polisi/abdinegara. "Alah sok-sokan...