Dua bulan kemudian.
Nindhy sedang mengatur ulang tatanan miniatur figur beberapa pembalap MotoGP koleksi Adrian dan miniatur 7 Keajaiban Dunia di bufet televisi bagian rak-raknya di ruang keluarga. Saat sedang fokus, sebuah tangan tiba-tiba melingkar di perutnya bersama wangi aroma parfum yang bercampur keringat. Tanpa menoleh Nindhy sudah tahu siapa yang selalu bertingkah seperti ini, sudah pasti suaminya sendiri.
"Lagi apa, sayang?" tanya Adrian masih dengan tingkah manja memeluk Nindhy dari belakang.
"Beres-beres. Bang Ian kenapa sih kalau abis pulang olahraga bukannya langsung mandi dan bersih-bersih malah peluk-peluk aku yang udah mandi. Bau keringet, Bang Ian!"
"Kenapa kamu nggak suka? Biasanya juga anteng-anteng aja. Lagian ya, sayang, nggak tau kenapa akhir-akhir ini Abang pengen selalu dekat-dekat sama kamu, peluk kamu terus cium-cium kamu kaya gini ..."
Habis wajah Nindhy dihujami kecupan tak henti dari Adrian.
"Bang Ian ..." kesal Nindhy. Ia menatap sebal sang suami yang memasang wajah tanpa dosa.
"Kamu hamil ya?"
"Hamil? Nggak tuh."
"Yang bener, cinta? Bukan aku aja loh yang ngerasa aneh, tapi tingkah kamu juga jadi beda belakangan ini. Termasuk kamu yang nggak mau dipeluk Abang lagi."
"Kan aku udah mandi, makanya nggak mau dipeluk Abang yang bau keringat."
"Kan bisa mandi lagi, sayang."
"Ihh ... udah deh sana, Bang Ian mandi, jangan bikin aku tambah kesel."
Bukannya menurut Adrian malah mengeratkan tangan di pinggang Nindhy. Kali ini Adrian bahkan menyentuh perut Nindhy yang memakai baju tidur itu dengan telapak tangannya. Adrian membuat gerakan mengelus perut Nindhy pelan dan teratur. Benarkah istrinya tidak hamil? Tapi Adrian merasa perut Nindhy berbeda.
"Kamu hamil kan?" tanya Adrian lagi. Kali ini ia berharap Nindhy menjawab iya.
Namun, apa yang didapat Adrian ternyata lebih menyakitkan. Nindhy tanpa aba-aba menjauhkan tangan Adrian di perutnya dan Nindhy mengambil jarak dengannya. Nindhy menatap Adrian semakin kesal.
"Lebih baik Bang Ian mandi. Please ... jangan bikin aku tambah badmood. Abang, ngeselin tau!"
"Hei, sayang." Adrian menggapai tangan Nindhy dan mengusapnya lembut. Ia tidak ingin ada pertengkaran sekecil apapun di rumah tangganya, maka dengan itu, Adrian akan mengalah. "Abang minta maaf ya? Abang cuma ... Abang cuma nggak sabar jadi Papa untuk anak kita. Tapi cara Abang paksa kamu untuk jawab jujur padahal kamu belum hamil, itu nyakitin kamu ya? Abang minta maaf. Abang nggak bermaksud seperti itu. Please forgive me ya?"
"Abang mandi sana, nanti aku maafin."
"Okey, Abang mandi sekarang."
Adrian membawa Nindhy mendekat dan ia kecup keningnya singkat. "I love you and I'm sorry."
Setelah Adrian menjauh dan menghilang dari balik tembok yang memisahkan ruang keluarga dan kamar mandi, tangan Nindhy bergerak mengelus perutnya. Ia menunduk untuk melihat elusan yang ia lakukan dengan gerakan memutar itu. Senyum tipisnya muncul tanpa bisa ditahan.
Nindhy lantas melanjutkan kegiatannya yang terjeda karena Adrian.
"Sayang!"
Nindhy menoleh begitu mendengar suara Adrian yang memanggilnya cukup keras itu.
Sosok Adrian lalu muncul dan berjalan terburu menghampirinya hanya memakai celana olahraganya yang pendek dan bertelanjang dada. Sampai di hadapan Nindhy, Adrian langsung menunjukkan benda yang ia temukan di kamar mandi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Still, San!
General Fiction" ... pacarnya ngambekan, mending sama saya aja, Dek. Taruna loh saya, ganteng, gagah ... kurang apalagi coba?" "Taruna? Iiyeuhh ... sorry nggak minat!" tandas gadis yang dikenal paling ilfeel sama taruna/tentara/polisi/abdinegara. "Alah sok-sokan...