Adrian mengerjap. Perlahan kelopak matanya terbuka. Ia sedikit meregangkan ototnya setelah memindai suasana sekitar. Dan berhenti saat menatap punggung tangannya sendiri. Perlahan ia menyentuh dengan tangan satunya. Adrian tersenyum. Taruna itu lantas menolehkan wajahnya. Senyumnya jadi tambah lebar saat menemukan Nindhy di sampingnya sedang fokus menikmati film yang mereka tonton.
"Saya barusan mimpi indah banget. Rasanya kaya nyata."
Nindhy yang mendengar suara Adrian itu menoleh. "Mimpi apa?"
"Di sini," katanya. Menyentuh pipinya sendiri. "Kamu usap-usap pipi saya, lembut banget. Demi Tuhan, Nin. Rasanya kaya nyata. Saya jadi nyesel bangun kalau gini. Harusnya lanjut tidur aja ya? Biar bisa terus disayang-sayang sama kamu."
"Tidur lagi gih. Ntar aku tinggalin kamu sendiri di sini. Biarin aja dicari pengasuh tarunanya hilang satu."
"Hilang soalnya dibawa kabur kamu."
Nindhy mengedikkan bahunya. Tak menjawab lagi. Ia kembali fokus ke tontonan di depannya yang mulai mendekati ending. Terlihat fokus padahal di pikirannya banyak hal yang sedang diributkan.
***
Nindhy POV
Aku dan Adrian—taruna nyebelin bin ngeselin, keluar dari sebuah store brand terkenal setelah menemukan kado untuk Bundanya. Karena aku tahu rules bahwa taruna dilarang membawa barang selain tasnya, maka aku yang menerima paperbag belanja dari kasir tadi. Tapi baru beberapa langkah, Adrian memintanya agar ia saja yang membawa. Kan, dia memang nyebelin. Padahal aku sudah berusaha supaya Adrian aman-aman saja pesiarnya. Maksudku, siapa yang bakal tahu kalau tiba-tiba kami bertemu dengan seniornya dan mendapati Adrian menenteng bawaan lain selain tasnya. Kalau seniornya baik hati sih fine-fine saja. Tapi kalau ketemu senior yang tipe galak dan senioritas yang merasa juniornya wajib banget merasakan kesusahan-kesusahan yang dulunya pernah ia alami, apa Adrian-nya yang nggak bakal repot sendiri.
Saat aku memberi tahu alasanku melakukan itu, kalian tahu respon Adrian bagaimana?
"Ya ampun kamu perhatian banget sih sama saya, Nin. Sampai takut saya bakal diapa-apain sama senior."
Adrian≡nyebelin.
"Oke, sekarang kamu mau kemana?"
"Mau pulang." Aku menyahut.
"Jam segini jalan masih panas, Nin. Mending ntar aja kalau udah agak sorean."
"Kamu pikir aku pulang jalan kaki? Kan ada taksi. Ada ac-nya juga. Nggak mungkin aku kepanasan." Kalau ngobrol sama Adrian bawaannya emosi. Karena dia memang se-nyebelin itu.
"Kamu butuh yang dingin-dingin deh, Nin. Keluar dari bioskop bawaan kamu nggak santai. Meledak-ledak terus."
Adrian memimpin jalan menuju chatime. Begitu sampai tas dan paperbag dia taruh di meja. Sementara si taruna nyebelin itu langsung pergi memesan. Nggak cuma ninggalin aku sendiri tapi juga Adrian nggak tanya aku mau varian yang mana. Asal pergi aja dia. Kurang nyebelin apa coba.
Aku duduk dan membuang rasa dongkol itu dengan main handphone. Ternyata ada pesan masuk dari Kak Prima belum lama. Yang masih menunggu jawabanku untuk menonton pertunjukan seni di Prambanan akhir bulan nanti. Sejujurnya nggak ada alasan untuk menolak ajakan Kak Prima tadinya. Kalau aja Adrian nggak tiba-tiba minta aku untuk ikut ke acara birthday Bundanya nanti. Nah ini yang membingungkan diriku sendiri juga. Kan aku bisa menolak ajakan Adrian dan terima ajakan Kak Prima. Lagian aku juga nggak kenal dengan keluarga Adrian. Kalau dipikir-pikir bakal lebih canggung. Tapi aku udah mengiyakan ajakan Adrian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still, San!
General Fiction" ... pacarnya ngambekan, mending sama saya aja, Dek. Taruna loh saya, ganteng, gagah ... kurang apalagi coba?" "Taruna? Iiyeuhh ... sorry nggak minat!" tandas gadis yang dikenal paling ilfeel sama taruna/tentara/polisi/abdinegara. "Alah sok-sokan...