Still, San! - Chapter 14

482 38 2
                                    

Sesampainya di rumah Nindhy, mereka keluar dari dalam mobil. Adrian membawa totebag berisi barang yang Nindhy beli. Ia menghampiri Nindhy yang berada di depan mobilnya. Gadis cantik itu sedang menatap lekat sesuatu.

"Kamu lihatin apa?" tanya Adrian. Mengikuti arah pandang Nindhy.

"Kayanya temen-temen Bang Dihyan lagi main ke sini. Tuh liat, rak sepatunya penuh sama sepatu mereka." Nindhy beralih menatap Adrian. Yang mengikutinya menatap ke rak sepatu di samping pintu rumah.

Adrian membalas tatapan Nindhy. Ia sedikit menunduk. Sebab meski Nindhy termasuk tinggi dari rata-rata tinggi perempuan Indonesia tapi saat berdiri di sebelahnya Nindhy hanya sebatas dagunya saja. Itu adalah satu hal yang Adrian syukuri. Karena ia akan mudah untuk sekedar merangkul ataupun mengusap dan mengacak rambut indahnya.

"Mereka ngeselin."

"Iya terus?" tanyanya.

Raline mendengus sebal. "Kamu pulang aja gih. Makasih udah nganterin aku. Nanti jangan lupa kirim no rekening kamu."

"Masih aja dibahas. Kan saya udah bilang nggak usah."

"Nggak mau pokoknya. Lagian ini barang aku kenapa kamu yang bayar?" tanya Nindhy. Ia melayangkan tatapan kesal.

"Ya nggak apa-apa. Memangnya salah ya nyenengin calon sendiri?" Mode ngeselin on.

"Calon apa maksud kamu?" Nindhy bertanya galak. Tangannya berkacak pinggang.

Sudut bibir Adrian tertarik membentuk sebuah simpul senyum yang mampu menarik perhatian kamu hawa, kata Nanda, entah itu bohong atau terpaksa. Namun terlihat menyebalkan bagi Nindhy sekarang.

"Calon rekanita, kan?" Adrian tersenyum jumawa. "Atau calon Ny. Martadinata? Apa aja deh yang penting kamu jadi milik saya."

Nindhy membuang muka. Bibirnya itu digigit kuat-kuat untuk menahan senyum yang akan muncul. Sebisa mungkin ia menyembunyikan semua itu. Detak yang kencang, hawa di pipi yang memanas serta senyum yang susah sekali ia tahan. Adrian lihai membuat Nindhy tidak berkutik belakangan ini. Apa karena sebuah rasa yang sudah dipersilahkan menyertai mereka. Entahlah.

"Kamu pilih yang mana, Nin?" Adrian membisikkan tanya di telinga Nindhy. Posisi mereka semakin tidak berjarak.

Nindhy hampir melompat kaget mendapat bisikan tiba-tiba dari Adrian. "Adriannn!!!!"

"Kenapa, sayang? Eh?"

"Udah deh sana kamu mending pulang! Lama-lama kamu tambah ngeselin. Bawaannya bikin aku kesel mulu tau nggak? Pulang-pulang sana!"

Adrian menegakkan badannya kembali ke posisi tegap. "Saya mau pamit ke Bang Dihyan. Saya masuk sebentar buat sekalian pamit sama temen-temen Bang Dihyan. Mereka juga kan senior saya di Akmil, Nin."

"Adrian, please dengerin aku sekali ini aja." Dengan keberanian yang tiba-tiba datang, Nindhy menyentuh tangan Adrian. Mengusap pelan tangan besar yang lembut itu. "Aku udah capek seharian sama kamu. Misal aku masuk dan lihat kamu bareng aku, nanti kamu yang habis sama mereka. Kamu bakal ditanya macem-macem. Mereka yang di dalam itu temen-temen deket Abang. Yang tau gimana aku nggak suka banget sama taruna. Mereka pernah coba deketin aku. Tapi aku nggak pernah ladenin mereka. Dari situ mereka jadi ikut jaga aku dari taruna yang coba deketin aku lagi. Mereka pasti nggak suka sama kamu. Aku takut nanti kamu yang kenapa-kenapa. Bisa banget mereka bawa masalah ini sampai ke Akmil. Kamu bisa disuruh macem-macem dan aku nggak mau itu terjadi. Kamu pulang ya ..."

"Hey, jangan khawatir saya kenapa-kenapa. Saya lebih pilih diapa-apain sama mereka daripada dicap pengecut karena nggak berani ngadep mereka. It's okay, Nin. Makasih loh kamu peduli banget sama saya." Adrian mengakhirinya dengan mengusap selanjutnya mengacak rambut Nindhy. Akhirnya ia bisa membalas setelah tadi dibuat speechless oleh tindakannya yang tiba-tiba menyentuh dan mengusap tangannya.

Still, San!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang