Sesuai Janji😙🫶
Prolog dulu
Baru netes nih, jangan lupa tinggalkan jejak ya😊
~Neo Ka🐰~
"Emangnya kamu ndak mau pulang, Nduk?" Ucapan lirih itu mengalun dalam suara sedih, sampai ikut menggentarkan hati orang disebrang telfon.
"Pengen Bu, tapi Gaya masih pengen cari kerja terus lanjut kuliah, apa nggak boleh? Gaya rasa, akan sia-sia nanti selama enam tahun ini hidup di kota kalau gak sampai kerja dan bawa pulang uang buat Ibu dan Bapak," ucap seorang gadis di sana.
Sang Ibu yang mendengarnya ikut sedih terharu, kemauan sang anak yang ingin belajar dengan tinggi sesuai ucapan anak itu pada umur lima tahunnya, juga masih memikirkan tentang keluarganya di desa, sebagai seorang Ibu dia tergetar hatinya.
Rasanya tak kuasa menahan tangis, namun apalah daya rindunya pada sang anak sudah tak mampu ia tumpuk lagi, selama enam tahun lamanya dia terpisah dari sang anak yang keukeh ingin hidup di kota bersama sang Bibi, lalu sekarang setelah kelulusan SMA-nya, dia diminta balik namun gadis itu malah tak mau.
Tidak rindukan dia dengan kedua orang tuanya.
"Uang buat apa? Kamu sekolah sampai lulus itu sudah buat Ibu dan Bapak bangga, Nduk. Di sini sawah bapakmu dan tokonya terus buka dan alhamdulillah uang ngalir terus, jadi buat apa? Uang tidak bisa merawat Ibu dan Bapak saat sedang sakit Nduk, tidak bisa juga buat rindu Ibu sama Bapak hilang buat kamu, uwes toh. Pulang ya? Emangnya kamu ndak kangen Ibu sama Bapak? Kita berdua kesepian Nduk ndak ada kamu."
Sarminah menghapus air matanya saat mengenang satu tahun lalu kedatangan sang putri ke rumah mereka selama satu bulan, libur sekolah memang anak mereka menyempatkan pulang, tapi tetap saja, dia dan suaminya menginginkan sang putri yang sudah tumbuh dewasa dengan cantik berada di radar mereka.
Orang tua mana yang tidak rindu dengan anaknya? Apa lagi tidak leluasa melepas rindu karena jaraknya yang jauh untuk ditempuh.
"Di situ 'kan ada Mbak Nisa sama anaknya Bu, ngapain kesepian? Gayu pasti pulang kok, cuman nunggu liburan kayak dulu." Kata sang penelpon.
"Kamu ndak—"
Baru Sarminah akan bicara namun ponsel itu telah direbut secara kasar, pelakunya adalah Darto—suaminya yang terlihat kesal.
"Halo Nduk! Ini Bapak! Kamu kok ngeyel kalau di suruh pulang? Ini Ibumu sudah nangis rindu pengen ketemu, pengen kumpul sama anaknya yang tau-taunya sudah gadis tapi jauh di sana, kamu ndak pengen ketemu sama kita? Bapak beri izin bukan berarti kamu bebas menentukan pilihan seperti itu, tidak cukup enam tahun kamu hidup di situ? Bapak yakin Nduk, semakin lama kamu menetap di kota, semakin ndak minat kamu buat pulang!"
Pria dua anak itu kesal, tidak terima sang istri menangis karena rindu, apalagi karena menahan rindu dengan sang anak yang bahkan tidak bisa dipeluknya secara leluasa.
"Bapak, buka—"
"Uwes! Kalau kamu ndak mau pulang! Jangan anggap kita keluarga lagi, Bapak sama Ibu punya dua orang anak, tapi kok kayak cuman punya satu! Sakit Bapak sama Ibu tidak perlu kamu tau! Silahkan kalau mau masih netap di kota! Sampe nikah sekalian! Gak pulang karena di sana sudah rumah kamu!"
Panggilan dimatikan secara sepihak, Nisa di sana hanya mampu terdiam, Bapaknya kesal dan Ibunya menangis karena menahan rindu dengan sang adik yang jauh di kota.
Dia tidak bisa apa-apa kecuali menenangkan sang Ibu yang terus menangis.
Berharap juga bahwa sang adik mau pulang ke desa mereka dan balik kumpul dengan mereka.
Iya, hanya itu saja.
oOo
Lelaki dengan kaos santainya itu berjalan menuju gazebo depan rumah bersama sang bungsu dalam dekapannya, anak lelakinya itu selalu tidak mau lepas dengan dirinya barang sedikitpun.
Terkadang itu membuatnya kepayahan karena harus mengurusi buah hatinya sendiri.
Maklum, menjadi duda di usia muda dengan dua anak yang ikut bersamanya, membuat dia menjadi pria super sibuk dalam rumah.
Walaupun begitu, waktu untuk berdekatan dengan kedua anaknya selalu ada, tidak semerta-merta melupakan dan abai begitu saja.
Alis pria itu mengerut melihat sang Ibu yang berada di gazebo dengan anak pertamanya.
"Tumben Ibu ke sini? Ada apa?" Pertanyaan itu dari duda dua anak itu, sambil mendekat dengan mencium punggung tangan sang Ibu. "Ya kenapa? Ndak boleh dateng ke rumah anak Ibu sendiri? Kamu ini! Wong Ibu dateng bukan disambut baik malah ditanya koyo ngono!"
Pria itu meringis mendengarnya, diberikan sang anak lelaki kala diminta oleh sang Ibu, Ibunya begitu menyayangi anak-anaknya dengan sangat tulus, walaupun terkadang sifat gampang marah sang Ibu keluar dengan tidak pasti.
"Nduk, kok ndak dibikinin minuman Yangti-nya? Sana ambilin dulu di dapur," ucapnya pada sang anak perempuan, gadis remaja itu mengangguk dengan senyum manisnya yang terukir dengan indah. "Iya Rama, Arin buatin dulu."
Melihat kepergian sang Putri, pria itu menoleh pada sang Ibu yang juga sedang menatapnya serius, dia tau ini pasti tidak jauh-jauh dengan peraturan kraton yang ingin diberi tahukan oleh sang Ibu. "Ibu denger dari Ni Isma, Arina sudah menstruasi, Ngger?"
Tubuh pria itu menegang sekejap lalu kembali tenang, seharusnya dia bisa menebak dengan baik kedatangan sang Ibu yang tiba-tiba di kediamannya, tidak lain dan tidak bukan tentang Putri satu-satunya.
"Kowe iku tau 'kan neng praturan kraton koyo opo? Saiki waktune Ngger, mau sampai kapan kamu mau sendiri? Ndak kepikiran tentang masa depan anak-anakmu yang masih tabu? Gak elek kalau Arina tumbuh tanpa peraturan kraton, Ngger. Kamu sudah banyak melawan peraturan kraton yang seharusnya dilakukan, Ibu sama Ramamu mencoba mengerti, tapi untuk pendamping kamu di masa depan, Ibu ndak bisa membirkannya hilang begitu saja, bagaimana pun kamu tetep harus punya garwa yang ngurus kamu sama anak-anakmu, tolong kalau yang ini cepat dilakukan, kalau ndak mau Ramamu turun lansung mencarikan kamu garwa." Sang Ibu memegang tangan anak lelakinya dengan lembut.
Mencoba memberi pengertian betapa pentingnya sosok seorang istri dan Ibu bagi cucu-cucunya kelak.
Sebenarnya tidak ada niatan untuk lelaki itu menikah lagi, menurutnya sudah cukup hidup sendiri seperti sekarang, hanya saja. Dia ingat satu hal, karena keegoisannya, anak-anaknya tumbuh tanpa seorang Ibu.
Lalu sekarang harus bagaimana? Jalan satu-satunya hanyalah menikah lagi dengan wanita yang tepat.
"Kulo mau menikah lagi, Bu." Ndoro Jenar tersenyum dengan lebar mendengar penuturan sang anak lelaki, tapi senyumnya luntur begitu mendengar permintaan sang anak yang tidak mampu ditolaknya. "Asal memberikan saya kesempatan untuk mencari sendiri, seperti apa garwa yang pantas untuk saya dan Ibu untuk anak-anak saya."
~Bersambung~
Votenya jangan lupa!
Story Pedia📌
• Garwa: Istri
• Ngger: Sebutan untuk anak laki-laki
• Yangti : Eyang Putri
• Yang kung: Eyang Kakung
• Nduk: Panggilan untuk anak perempuanTolong bantu Ka Neo untuk koreksi bahasa jawa yang baik dan benar🙏
Semoga sehat untuk kalian✌
Tolong berikan komentar positif ya😄
Salam Sayang
Neo Ka🐰
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Gayatri, Istri Kangmas [21+]
ChickLitStory Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang jiwa bebasnya mengambil alih, dengan kebebasannya berbicara di rumahnya yang selalu didengar oleh sa...