32

29 1 0
                                    

"Ini orang yang gue ceritain!" gue memberikan isyarat dengan bola mata.

Warna menatap gadis itu.

Btw saat ini meja kami segi empat ya, dengan Huma dan gue duduk besebelahan dan di sebrangnya si KW dan juga Warna.

"Owh jadi ini orangnya," kata Warna setelah meneliti objek yang gue ceritakan.

Ya, lalu lelaki itu mengangguk sendiri. Sebenarnya apa yang ada di kepala tukang martabak ini. Lelaki itu seperti terlihat serius akan pemikirannya.

"Beda ya."

"Iya-eh apaan yang beda?"

"Anunya, yang KW versi mini."

"Gila lu, tapi emang bener sih. Mantepan yang asli asal lo tau."

Warna tersenyum. "Nyoba sabi lah."

"Warna, gue gorok tau rasa lu ya!"

Kepancing, ya walau gue tau niatnya bercanda. Tapi sebel aja bayanginnya, kalau beneran terjadi kaga kebayang gue marahnya kayak apa. Bisa abis nih orang satu.

Njirrr... gila kali gue kasihin sicantik nan montok ini!

"Santuy, canda beb!"

Gue kasih jari telunjuk ke Warna.

"Harvis, Warna, serius!" kesal Huma.

Gue tersenyum dan mengelus lengannya.

Ucul, istri manis gue marah.

Hehee...

"Kalian ini bicarain apa sih, gak jelas!"

"Bicarain elu, buset dah. Kaga sadar dia dari tadi."

Si KW mendengus.

"Apaan sih ikut-ikutan bicara. Aku tuh lagi ngobrol sama mereka ya bukan kamu!"

Warna mengatup mulutnya, tetapi gue tau nih dalam hatinya. Kaga mungkin ada seorang Warna diem aje di giniin, pasti kata-kata mutiara keluar dari tuh kepala. Liat aja mukanya udah keruh banget sekarang.

"Dia temen gue, gak masalah kalau ikutan bicara," kata gue.

Dia menatap gue dan tersenyum.

"Kamu kapan mau jadi pacar aku?"

"Hih!"

Najis, kaga nyambung!

Astagfirulah...

Gak boleh gitu besti!

Kita baku hantam aja sekalian sekarang!

"Vis, gue cekek boleh?" bisik Warna.

"Nanti aja, nunggu lebaran haji," kata gue sok sok an menenangkan.

Warna mengangguk, dia mengikuti drama gue dengan maksimal. Bagus-bagus, kita nyambung kalau soal jokes beginian.

"Harvis!"

Gue tersenyum kepada Huma.

Oke fokus, kita di sini untuk menyelesaikan masalah bukan menjadi teman mengobrol sambil meminum teh.

"Jadi lu mau apaiin ini cewek?"

"Ya bantu lepasin lah, kalau gue bisa sendiri juga kaga bakal minta bantuan lu. Gue takut tu-ekhem anak gue kenapa-kenapa karena kehadiran."

"Gak niat poligami aja?"

"Amit-amit, gue udah bucin ya sama yang ini. Kaga mau nambah, geli gue bayanginnya!"

Huma menyandarkan dirinya ke gua. Gue tersenyum kepadanya.

Warna terlihat menghela nafas.

"Lo gak bisa ngintilin Harvis terus, lebih baik elu relain dia aja!"

"Apaan sih ikut ngatur, suka-suka aku dong."

Warna menggeram kesal.

"Dia udah ada cewek njing, batu banget."

"Dia bisa putus kan?"

Kami terdiam. Lalu gue dan warna saling tatap, tak lama gue dan Warna tertawa lepas.

"Anjing, dia ngira kalian pacaran bwahahaaa!"

"Hahahaaaa mana ada!"

Huma bahkan ikut menanggapi dengan tertawa pelan.

"Denger ya cantiknya aku, mereka ini bukan pacaran tapi sudah menikah, bentar lagi juga bakal punya curut."

Gue menunjukan cincin padanya, Huma juga.

Dia tergagap, "Dia... dia... kalian... sudah menikah?"

Kami bertiga mengangguk.

"Gak! Gak bisa, kau... kau tidak berniat menceraikannya?"

Dia natep gue.

"Jangan bercanda!"

Teriak gue dan Huma bersamaan.

@@@

"Kenapa hmm?"

Huma menggeleng lalu cemberut.

"Masih kepikiran soal tadi?"

Huma terdiam sejenak lalu mengiyakan.

Gue tersenyum, "Jangan takut ya, aku gak akan lepasin kamu semudah itu."

Huma mengeratkan pelukannya.

"Bukan karena ada anak kita aku perlakukan kamu seperti ini, ada ataupun engga dia, aku akan tetap memilih kamu." Gue kecup keningnya.

"Aku tau," jawabnya.

"Terus apa yang kamu khawatirkan hmm?"

"Wajahnya mirip aku," katanya.

Gua menghela nafas.

"Gue bakal cari tau nanti, tapi sekarang kita fokus sama perkembangan dede dulu ya."

Huma mengangguk.

Gue berharap apapun hasilnya nanti enggak buat elu kecewa Hum, gue tau dalam pikiran kita pasti berpikiran hal yang sama. Apa mungkin Huma KW itu salah satu dari anggota keluarga Huma?

Jika tidak itu tidak masalah, tapi jika iya. Kenapa? Kenapa mereka meninggalkan Huma dipanti dan kenapa mereka tidak ada usaha mencarinya. Gue gak berharap banyak, tapi kalau bisa jangan biarkan Huma bersedih dengan kenyataannya nanti.

Apapun itu.

"I love you," bisik gue menggodanya.

Wajahnya bersemu merah lalu dia memukul manja lengan gue.

Okey.Cut!

HuHeHaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang